Bagaimana Peran Perempuan Indonesia di Bidang Pelestarian Lingkungan?
Nationalgeographic.co.id—Perempuan seluruh dunia sangat terdampak ketika krisis akibat perubahan iklim menerpa. Dampak perubahan iklim, seperti bencana alam, membuat perempuan sulit mendapatkan kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, kegiatan merawat Bumi perlu digiatkan secara kencang oleh perempuan di Indonesia.
“Kita tahu bahwa perempuan fungsinya banyak sekali. Tetapi juga mereka salah satu komunitas yang paling rentan, karena mereka juga ada di garda depan. Garda terdepan untuk keluarga, individual, dan komunitas di lapangan,” kata Meizani Irmadiany, Executive Chair di Konservasi Indonesia.
Lewat Konservasi Indonesia, Meizani mengelola sistem konservasi yang melibatkan masyarakat berbagai daerah. Dia melihat bagaimana masyarakat yang dijumpainya, perempuan berperan dalam keberlangsungan komunitas.
“Jadi, isu-isu lingkungan tidak bisa dilepaskan dair isu kesetaraan gender dan juga akses untuk menentukan hidupnya di depan, dan pengelolaannya,” lanjutnya di Conservation Talk: Perempuan untuk Alam yang diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta, Kamis 22 Desember 2022.
Ketika pertama kalinya peradaban manusia merambah ke pertanian setelah sebelumnya berburu, perempuan adalah kalangan terdepan untuk peradabannya. Berbagai penelitian pun menyatakan, kelompok perempuan yang pertama kali yang membudidayakan tanaman yang bisa dimakan untuk komunitasnya.
Selain itu juga, bertanggung jawab untuk mengatur siklus pertaniannya. Keyakinan itu pun direkam dalam kisah-kisah masyarakat tradisional.
“Di sisi lain, perempuan sebagai ibu, kodratnya mengandung dan melahirkan anak. Jadi kepentingan untuk mewariskan alam yang tetap sehat dan lebih sehat itu memang berada di [tangan] perempuan,” kata Noviar Andayani, Country Director Wildlife Conservation Society.
Terkait upaya perempuan di bidang pelestarian alam, baik secara tradisional dan modern, punya kemampuan unik. Selama ini kegiatan pelestarian alam atau konservasi ketika dipegang oleh kalangan pria, cenderung berkompetisi. Namun bagi perempuan, menggiatkan pelestarian dilakukan secara kolaborasi dan bekerja sama, kata Herlina Hartanto.
Herlina memberi contoh seperti tradisi sasi yang dilakukan masyarakat di Maluku dan Papua. Kegiatan ini merupakan cara melestarikan sumber daya alam demi menjaga mutu dan populasinya. Ada peraturan atau hukum adat yang menjadi pedoman tradisi ini.
Lewat tradisi sasi, perempuan memiliki hak yang berpengaruh pada masyarakat untuk melindungi alam. Selain itu, perempuan ketika mendapatkan hak dalam tradisi sasi, membuktikan bahwa cara kerja mereka bekerja sama dengan pihak mana pun, termasuk kalangan pria.
Herlina adalah Executive Director dan yang membangun Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). Kisah-kisah kolaborasi dia ungkapkan berdasarkan pengamatannya di berbagai daerah dalam upaya pengelolaan hutan lestari dan mitigasi perubahan iklim.
Herlina pernah menjadi peneliti di bidang kehutanan dan lingkungan dari Monash University, Australia. Pada forum itu, ia menceritakan pengalamannya sebagai peneliti di pedalaman kawasan konservasi berbulan-bulan.
Untuk itu, perlu bagi media massa juga mewartakan tentang usaha pelestarian alam dari segi sains dan kebudayaan masyarakat. Sampai saat ini, jurnalisme yang membahas isu perubahan iklim masih lebih sedikit daripada politik, korupsi, terorisme, dan selebriti.
Mewartakan tentang perubahan iklim dan dampaknya punya sisi yang sangat penting. Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia dalam forum yang sama mengatakan, mewarta pelestarian alam punya kadar yang sama pentingnya, karena berhubungan dengan kemanusiaan.
“Mungkin, ada satu kelelahan menghadapi isu konservasi ini sebagai narasi yang usang. Jadi PR-nya hari ini adalah memunculkan sudut pandang baru, memberi peluang baru bagi Bumi,” lanjut Didi. “Jadi memang, selama ini yang kami giatkan adalah bagaimana memunculkan hipotesa-hipotesa baru, lalu bukan hanya melihat dari segi kerusakan, tetapi harapan. Lalu kemudian membuat premis-premis baru, misalnya membuat isu conservation menjadi conversation.”
Masalah lainnya terkait gender yakni jurnalisme sering kali disebut sebagai dunia yang maskulin. Padahal saat ini, jumlah perempuan yang turut bekerja di bidang jurnalistik, terutama pada isu lingkungan, mulai berkembang. Gagasan redaksi untuk topik, mulai mengurangi bias gender karena perempuan juga bisa menjabat sebagai pemimpin redaksi.
“Contohnya National Geographic,” kata Didi. Pada periode sebelumnya, National Geographic memiliki Editor in Chief perempuan, Susan Goldberg. Dengan menaruh perempuan pada posisi penting redaksi, ada perspektif baru yang bisa muncul untuk diwartakan terkait isu lingkungan dan kebudayaan. “Makanya kami membuat tagar #PerempuanUntukPerubahan.”
Di sisi lain, Herlina menambahkan, sangat jarang sekali di bidang pegiat dan penelitian pada masanya peneliti perempuan. Kondisi sulit seperti akses listrik dan kebersihan, mungkin menjadi salah satu alasannya. Meski saat ini jumlah peneliti perempuan di bidang perlindungan alam, baik di hutan dan laut, mulai menjamur, tetapi dunia ini masih didominasi laki-laki.
“Nah, kalau pendamping di tapak desa atau kampung juga tidak terlalu banyak. Padahal saat ini di Indonesia ada puluhan ribu desa dan kampung yang terletak di dalam sekitar hutan atau pesisir yang membutuhkan pendampingan,” tuturnya. “Dan karena pendampingan perempuan juga diperlukan karena mereka memiliki perspektif berbeda dalam pendampingan.”
Herlina mendorong supaya perempuan lebih mau lagi terlibat dalam pendampingan bersama masyarakat dan bekerja di lingkungan yang sulit. Tujuannya adalah membuka pemahaman baru tentang masyarakat setempat dalam mengelola hutan, dan pemikiran lain dari perempuan yang selama ini belum terungkap terkait pelestarian.
SUMBER: Nationalgeographic.co.id