Catatan Akhir Tahun: Dinarasikan “Harta Karun”, Eksploitasi Mineral di Kepulauan Bangka Belitung Berlanjut

  • Eksploitasi mineral di Kepulauan Bangka Belitung tidak akan berhenti. Setelah timah, giliran logam tanah jarang [LTJ] atau rare earth yang saat ini dinarasikan sebagai “harta karun”.
  • Narasi “harta karun” terkait LTJ sangat berbahaya bagi kesadaran ekologi di masyarakat. Sebab, kata “harta karun” meniadakan negara.
  • Kepulauan Bangka Belitung sebenarnya bukan hanya kaya dengan mineral, seperti timah dan LTJ, juga kekayaan alam lainnya, yang harus dijaga dan dilestarikan.
  • Dibutuhkan regulasi dan pengawasan ketat terkait eksploitasi LTJ di Kepulauan Bnagka Belitung. Termasuk, hadirnya lembaga publik yang melakukan pengawasan eksploitasi LTJ.

 

Berbagai bangsa asing, seperti bangsa Eropa, Timur Tengah, dan Tiongkok, memaknai Kepulauan Bangka Belitung sebagai kepulauan timah, meskipun peradaban bahari membangun masyarakatnya. Kini, kepulauan tersebut dinarasikan penyimpan “harta karun” karena memiliki kekayaan logam tanah jarang [LTJ] atau rare earth.

“Bicara timah artinya industri. Bicara industri artinya eksploitasi. Tidak heran penulisan sejarah Kepulauan Bangka Belitung oleh bangsa asing selalu dikaitkan dengan eksploitasi pasir timah. Eksploitasi timah di Kepulauan Bangka Belitung menutupi jejak peradaban bahari yang sangat arif dengan laut, hutan [mangrove], sungai dan bukit,” kata Jessix Amundian, Direktur Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] Kepulauan Bangka Belitung, awal Desember 2021.

Setahun terakhir, sejalan dengan lahirnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, sejumlah media massa menarasikan logam tanah jarang [LTJ] atau rare earth sebagai “harta karun” yang nilai ekonominya tinggi dan menjadi rebutan international.

LTJ merupakan mineral ikutan dari timah. Mineral-mineral ini banyak digunakan untuk industri, seperti nuklir dan baterai.

“Membahas rare earth berarti timah. Sementara timah itu adalah Kepulauan Bangka Belitung,” kata Jessix.

“Narasi harta karun itu sangat berbahaya terhadap pemahaman dan kesadaran ekologi masyarakat. Sebab, harta karun itu artinya harta atau kekayaan yang tidak ada pemiliknya, dan harta yang diambil secara tidak sah, yang dapat dimiliki atau dicuri siapa pun. Bebas digali atau diambil,” lanjutnya.

Berdasarkan KBBI [Kamus Besar Bahasa Indonesia], harta karun memiliki tiga arti. Pertama, orang yang kaya raya pada zaman Nabi Musa, yang akibat kesombongannya ia dan harta bendanya tertimbun tanah. Kedua, tidak diketahui asal-usulnya [tentang harta temuan dan sebagainya]. Ketiga, tidak sah [tentang pemerolehan atau pendapatan].

“Jika kekayaan alam di Indonesia disebut harta karun, maka negara ini tidak ada. Sebab, berdasarkan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, semua kekayaan alam yang berada di bumi dan air dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Jadi, UUD 1945 tidak mengakui adanya harta karun,” kata Jessix.

Tambang timah yang masih menjadi andalan bagi sebagian masyarakat Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Tambang timah yang masih menjadi andalan bagi sebagian masyarakat Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dunia butuh LTJ

READ  Cengkih yang Tidak Lagi Diandalkan Petani Aceh

Ignasius Jonan, saat menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dalam sambutannya di buku “Potensi Logam Tanah Jarang di Indonesia” yang diterbitkan Pusat Sumber Daya Mineral, Batubara dan Panas Bumi Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [2019], memberikan penjelasan lengkap.

“Jaminan pemenuhan kebutuhan mineral untuk kepentingan nasional, kedaulatan, dan kemandirian negara menjadi kewajiban pemerintah, baik pemerintah pusat maupun provinsi sesuai kewenangannya. Ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara bahwa mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar besarnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.”

Dijelaskan Jonan, dengan berkembangnya peradaban dan teknologi yang pesat, kebutuhan akan mineral semakin meningkat dan beragam. Mineral diperlukan oleh  hampir semua jenis industri seperti industri  pertanian, makanan, telekomunikasi, transportasi, kimia, perumahan, serta  penyediaan energi.

Tren terbaru dalam  pengembangan energi yang ramah lingkungan adalah menggunakan mineral  sebagai sumber energi [baterai listrik] dan konversi energi [solar cell, wind turbin, dll], yang memerlukan beberapa jenis mineral. Salah satu yang penting adalah LTJ.

Aktivtas penambangan rakyat di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Aktivtas penambangan rakyat di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dari buku yang sama, Rudy Suhendar, saat menjabat Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, menjelaskan, kebutuhan akan logam tanah jarang  [Rare Earth Element/REE] di dunia, akhir-akhir ini meningkat sangat tajam. Penyebabnya, REE menjadi komoditi yang sangat strategis bagi kemajuan teknologi masa depan.

Secara signifikan, kehadiran komoditi REE mampu menyumbang dalam peningkatan teknologi moderen yang ada di sekitar kita. Sebut saja, telepon selular, komputer, baterai isi ulang, magnet, lampu fluoresen dan peralatan elektronik lainnya untuk keperluan sipil maupun militer.

“Untuk kebutuhan mendatang, komoditi ini sangat berperan dalam menjawab kebutuhan sumber  energi yang ramah lingkungan dan efisien [enviromental friendly energy], serta kebutuhan akan pertahanan negara.”

Buku itu juga menyebutkan, LTJ di Kepulauan Bangka Belitung antara lain monasit, xenotim, zirkon, dan ilmenit.

Potret aktivitas pertambangan timah inkonvensional di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Potret aktivitas pertambangan timah inkonvensional di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Bukan hanya timah

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia selama 2021, menelisik Kepulauan Bangka Belitung bukan hanya tentang timah dan rare earth. Tetapi juga, disebut sebagai kepulauan granite belt atau the tin belt yang terangkai dari Myanmar, Thailand, Malaysia, Kepulauan Riau, hingga Pulau Karimata.

Pertama, Kepulauan Bangka Belitung juga dikenal sebagai geopark atau taman bumi. Kepulauan ini merupakan bagian dari Sunda Besar, yang muncul ke permukaan laut sekitar 200-an juta tahun lalu. Teori lainnya, kepulauan ini merupakan dataran tinggi dari peradaban Sundaland yang tenggelam akibat naiknya permukaan laut sekitar 11.600-7.000 tahun lalu.

UNESCO [United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization] menetapkan Geopark Belitong sebagai UNESCO Global Geopark pada 15 April 2021 lalu.

READ  KLHK Tangkap Pelaku Penyelundupan Bekantan dan Owa Jenggot Putih di Gorontalo

Di Pulau Bangka terdapat sembilan geopark: Bukit Penyabung, Pantai Bembang, Pantai Jerangkat, Pantai Penganak, Tanjung Tengkalat, Pantai Punggur Tuing, Gunung Permisan, Sungai Olin, dan Pantai Tapak Dewa.

Kedua, kekayaan laut dan pulau-pulau kecil. Berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RZWP3K] Kepulauan Bangka Belitung, analisis citra tahun 2017 menunjukkan, ekosistem terumbu karang hidup seluas 12.474,54 hektar. Sementara, luas karang mati sekitar 5.270,31 hektar. Keberadaan terumbu karang ini yang menjadikan Kepulauan Bangka Belitung sebagai penghasil ikan, menghidupi ribuan kepala keluarga selama ratusan tahun.

Di Indonesia, Kepulauan Bangka Belitung merupakan provinsi keenam yang memiliki banyak pulau, setelah Kepulauan Riau [2.408], Papua Barat [1.945], Maluku Utara [1.474], Maluku [1422], dan Nusa Tenggara Timur [1.192]. Kepulauan Bangka Belitung memiliki 950 pulau. Sekitar 470 pulau sudah memiliki nama, sementara 480 belum. Sekitar 51 pulau berpenghuni, termasuk Bangka dan Belitung.

Aktivitas pertambangan timah yang merambah hingga ke kaki bukit di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Aktivitas pertambangan timah yang merambah hingga ke kaki bukit di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ketiga, mangrove. Luas mangrove di Kepulauan Bangka Belitung sekitar 273.692,81 hektar. Mangrove ini tersebar di Kabupaten Bangka [38.957,14 hektar], Kabupaten Bangka Barat [48.529,43 hektar], Bangka Selatan [58.165,04 hektar], Bangka Tengah [19.150,86 hektar], Belitung [65.658,06 hektar], dan Belitung Timur [43.232,28 hektar]. Namun, selama 20 tahun terakhir, sekitar 240.467,98 hektar mangrove mengalami kerusakan, atau tersisa 33.224,83 hektar yang kondisinya baik. Pemerintah melalui BRGM [Badan Restorasi Gambut dan Mangrove] melakukan restorasi gambut yang mengalami kerusakan di Kepulauan Bangka Belitung dari 2021-2025.

Keempat, bukit. Di Kepulauan Bangka Belitung terdapat sekitar 32 bukit. Bukit tertingginya Gunung Maras [705 meter] di Pulau Bangka. Hampir setiap hutan yang berada di bukit dijadikan wilayah suci atau larangan oleh berbagai suku melayu, seperti suku mapur [lom], suku maras, suku jerieng, suku sekak, suku ketapik, suku kedalek, suku empeng, suku rajik, suku gudang, suku sebagin, suku gayi, suku basung, dan lainnya. Alasannya, hutan di bukit menjadi wilayah larangan atau suci karena dijadikan sumber obat-obatan alami, sumber ekonomi [madu] dan penjaga mata air.

Sementara wilayah di kaki bukit, dijadikan kelekak atau kebun yang dikelola secara arif oleh masyarakat melayu di Kepulauan Bangka Belitung. Di kelekak ini selain terdapat kebun lada, serta buahan seperti durian, manggis, petai, jering, dan lainnya. Durian tembaga, merupakan durian terkenal dari Pulau Bangka.

Lahan eks tambang yang belum di reklamasi di Pulau Bangka, mungkin akan kembai dikeruk karena memiliki potensi LTJ. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Lahan eks tambang yang belum di reklamasi di Pulau Bangka, mungkin akan kembai dikeruk karena memiliki potensi LTJ. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kelima, flora dan fauna. Terdapat beragam jenis flora dan fauna khas Indonesia [Asia Tenggara] yang dilindungi atau mulai langka di Kepulauan Bangka Belitung. Jenis flora misalnya, pelawan [Tristaniopsis merguensis Griff], nyatoh [Palaquium rostratum], melangir atau meranti merah, ulin [Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn], puspa [Schima wallichii], gaharu [Aquilaria malaccensis], menggeris atau sialang [Koompassia excels], rotan manau [Calamus manan Miquel], serta beragam jenis anggrek.

READ  Program COREMAP-CTI akan Berakhir, Pemda Diharapkan Bisa Melanjutkan Model Pengelolaan

Sementara fauna yang cukup dikenal mentilin [Cephalopachus bancanus bancanus] atau tarsius bangka yang merupakan fauna identitas Kepulauan Bangka Belitung, berstatus Rentan [Vulnerable/VU] berdasarkan IUCN Red List. Ada juga kukang [Nycticebus bancanus], trenggiling [Manis javanica], kijang [Muntiacus muntjak], dan binturong [Arctictis binturong].

Sementara di perairan [laut dan sungai] yakni beragam jenis penyu, hiu, ikan karang, pesut, dugong atau ikan duyung, buaya muara, hingga sejumlah jenis ikan air seperti belida.

Keenam, budaya dan tradisi. Beragam kekayaan alam itu akhirnya membangun berbagai produk budaya dan tradisi pada komunitas masyarakat yang hidup di sekitarnya. Terjalin hubungan harmonis masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung dengan alam. Produknya mulai dari adat, kepercayaan, obat-obatan, teknologi, kuliner, dan seni.

Tailing atau limbah pasir sisa penambangan yang terlihat jelas di bibir pantai Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Tailing atau limbah pasir sisa penambangan yang terlihat jelas di bibir pantai Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Aturan dan pengawasan yang ketat

Arthur M. Farhaby, peneliti mangrove dari Universitas Bangka Belitung [UBB] menuturkan, berbicara rare earth sama seperti kita membicarakan timah. Itu berkah bagi masyarakat Kepulauan Bangka Belitung. Tapi, jangan sampai berkah menjadi musibah.

“Tapi harus ada regulasi ketat yang mengatur tentang pemanfaatannya, sehingga bertanggung jawab dan berkelanjutan. Regulasi dan pengawasannya mungkin jauh lebih ketat dari timah, yang banyak menimbulkan berbagi persoalan sosial dan lingkungan,” jelasnya.

“Terutama, jika eksploitasi tersebut dilakukan di zona intertidal, disitulah habitat bagi ekosistem mangrove yang merupakan jantung bagi ekosistem pesisir dan laut,” lanjutnya.

Erzaldi Rosman, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, menjelaskan terkait pemanfaatan potensi LTJ pemerintahnya sudah menerbitkan Perda Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Mineral Ikutan dan Produk Samping Timah. Tapi perda itu “gugur” setelah terbitnya UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba, menyebabkan perda tersebut otomatis tidak berlaku.

Dikutip dari Kompas.com, Erzaldi Rosman mengatakan pemerintah daerah saat ini membutuhkan regulasi khusus terkait hilirisasi LTJ. Regulasi dibutuhkan sehingga daerah penghasil LTJ seperti Kepulauan Bangka Belitung tidak dirugikan.

Jessix Amundian menuturkan, regulasi itu juga harus mendorong adanya lembaga publik, yang berisi akademisi dan pegiat lingkungan. Mereka memiliki kewenangan untuk mengawasi atau mengontrol kinerja pemanfaatan LTJ.

“Dengan begitu, dampak ekologinya dapat ditekan atau dihindari. Kita belajar dari apa yang sudah terjadi dari aktivitas penambangan timah selama ini,” pungkasnya.

 

SUMBER: MONGABAY

Enable Notifications    Ok No thanks