Darwis Mohd Saleh, Pelestari Hutan Mangrove Pesisir Dumai

  • Hutan mangrove rusak di pesisir Dumai, Riau, mengganggu pikiran Darwis Mohd Saleh. Dia bertekad merawatnya. Demi menjaga dan merawat hutan mangrove, Darwis Mohd Saleh, mendapat cibirin bahkan sampai kena interogasi polisi. Dia tak gentar.
  • Darwis Mohd Saleh kerap menulis puisi dan cerpen. Karyanya terbit di media lokal dan dibacakan di radio-radio seantero Dumai. Dia juga penulis naskah dan pemain teater. Banyak karya ditampilkan dari panggung ke panggung dalam berbagai helatan di kota itu. Kebanyakan ceritakan kegelisihan terhadap kondisi dan kualitas lingkungan yang makin menurun.
  • Bandar Bakau  punya bank mangrove untuk menjaga ketersediaan bibit sejak 2010, sekaligus menopang pemulihan Bandar Bakau, khusus dan Dumai umumnya. Bank mangrove ituproses persemaian bibit mangrove mulai dari propagul, sistem kacang-kacangan dan biji-bijian.
  • Setelah 24 tahun, kini, Bandar Bakau telah pulih. Pohon mangrove lebih 20 jenis tumbuh rapat dan menjulang pada 25 hektar. Ia pusat ekonomi baru dengan memberdayakan masyarakat terutama perempuan sekitar. Akademisi dan mahasiswa meneliti di sana. Pelajar dari seluruh jenjang pendidikan dalam dan luar daerah mengunjunginya untuk bermain.

 

 

Kerusakan hutan mangrove di pesisir Dumai, Riau, mengganggu pikiran Darwis Mohd Saleh, kala itu. Dia bertekad merawatnya. Demi menjaga dan merawat hutan mangrove, Darwis Mohd Saleh, mendapat cibirin bahkan sampai kena interogasi polisi. Dia tak gentar. Kini, hutan mangrove yang sempat rusak yang diberi nama Hutan Bandar Bakau itu sudah rimbun. Selain berfungsi secara ekologi juga jadi sumber ekonomi masyarakat maupun tempat tujuan edukasi dan penelitian.

Masih kuat ingatan Darwis, polisi menjemputnya, jelang malam saat akan berbuka puasa pada 2016. Dia tengah merawat istri yang sakit di atas kursi roda. Sejumlah personil Polres Dumai, datang beri salam hormat. Sejurus, mereka mengepit Darwis dan bawa dengan pakai mobil menuju sebuah kantor.

Dalam satu ruangan, polisi itu mengintrogasi Darwis dengan beberapa pertanyaan. Darwis bersedia menjawab asal satu permintaan dipenuhi terlebih dahulu, hadirkan seorang wartawan. Tawaran itu tak dituruti. Darwis pun enggan menjawab.

“Saya punya jawabannya. Mudah sekali jawabnya. Tapi saya minta satu orang media ada sini,” kata Darwis, mengenang kejadian itu.

Inti dari informasi yang hendak diketahui para polisi mengenai hak atau izin yang Darwis mengelola kawasan mangrove di Jalan Nelayan Laut Ujung, Kelurahan Pangkalan Sesai, Kecamatan Dumai Barat, Kota Dumai, Riau.

Dia sempat kabur dan menghentikan mobil di jalan bukan untuk lari tetapi membuat kemacetan dan menimbulkan perhatian publik di jalan raya itu. Polisi cepat menariknya dan kembali bawa masuk ke ruangan.

Darwis makin kesal karena ditinggal sendirian dalam ruangan itu dan belum sempat membatalkan puasa bahkan tak bisa shalat magrib. Kemarahan itu dia lampiaskan pada seorang yang baru masuk ruang itu, yang ternyata baru selesai shalat.

“…Kamu tinggalkan saya, di sini. Sementara saya juga puasa…,” kata Darwis. Orang itu minta maaf sambil menangis.

READ  Orangutan, Sekolah, dan Ijazah Agar Bisa Kembali ke Hutan

Setelah itu, Darwis baru menyadari bahwa tempat yang dipakai polisi adalah Kantor PT Pelabuhan Indonesia I (Pelindo) yang baru. Akhirnya, polisi memulangkan Darwis, malam itu juga.

Istri Darwis meninggal dunia tiga hari pasca peristiwa itu. Menurut dia, sang istri syok ketika polisi menjemput Darwis. Si istri sempat berbisik ke Darwis untuk mengganti pakaian, tetapi polisi tak beri kesempatan.

“Bapak sosok hebat. Tak ada putus asa. Semangat terus. Perjuangannya seram. Sebelum (hutan ini) jadi milik negara banyak yang dihadapi bapak. Karena bapak jalan benar, tak ada orang yang bisa menghakiminya,” kata Gelombang Reforman, satu dari tiga putra Darwis.

Bandar Bakau Dumai, pusat rehabilitasi mangrove yang kini jadi ikon dan pusat wisata di salah satu pesisir Riau. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia
Bandar Bakau Dumai, pusat rehabilitasi mangrove yang kini jadi ikon dan pusat wisata di salah satu pesisir Riau. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Berebut hutan mangrove

Hubungan Darwis dengan PT Pelindo sudah lama tak harmonis. Bahkan pertentangan masih tampak dan terasa hingga kini.

Pasca reformasi 1999, Darwis pulang dari Jakarta, setelah merantau sekitar tiga tahun. Dia tak sengaja melihat hutan mangrove hampir gundul ketika berdiri di ujung pelabuhan Pelindo.

“Dalam benak saya bisakah hutan itu diselamatkan?”

Kondisi kawasan hancur. Pohon ditebang untuk rumah, warung dan hajatan pernikahan, jadi kayu bakar maupun panggung acara.

Aktivitas itu tak serta merta berhenti ketika Darwis berupaya menanam kembali mangrove pada area yang bolong. Bahkan, Darwis tahu ada perusahaan yang bayar penebang agar dia risih berlama-lama di sana.

Darwis merasa beruntung ketika UU Kehutanan lahir sangat berdampak mengurangi aktivitas penebangan tanaman mangrove. Lalu lalang kapal pengangkut kayu tebangan berkurang sekaligus menghentikan pungutan liar oleh aparat pada tauke atau pemodal.

Di balik kerusakan hutan mangrove, ada masalah sosial lain yang keluar masuk dari hutan pesisir Dumai ini. Kawasan itu jadi pelabuhan tikus tempat penyelundupan barang-barang ilegal, jalur pengiriman tenaga kerja ke luar negeri bahkan perlintasan imigran.

Darwis tak menunggu waktu lama untuk menyelamatkan hutan mangrove ini. Dia kumpulkan kawan-kawan, banyak mahasiswa dan pemuda dengan minat seni dan latar belakang aktivis. Dia juga sempatkan konsultasi dan diskusi ke beberapa tokoh masyarakat dan tokoh adat di Dumai.

Dia dan kawan-kawan Pecinta Alam Bahari (PAB) buat kenduri, semacam perayaan ala masyarakat tradisional, penanda akan mulai penyelamatan hutan mangrove. Dengan ritual ini,  katanya, berharap hutan mangrove lestari.

Gawai ini dihadiri Ketua DPRD Dumai pertama dan beberapa unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Waktu itu, Dumai baru saja ditetapkan sebagai kotamadya setelah berpisah dari Kabupaten Bengkalis.

Darwis meminta orangtuanya, Mohd Saleh, membaca doa. Ayahnya, guru ngaji sekaligus imam masjid.

Dia merasa kehadiran sang bapak sangat berpengaruh di kemudian hari. Mohd Saleh, berpesan jangan merasa memiliki hutan mangrove itu secara pribadi.  Apalagi awalnya banyak orang menduga dia akan menguasai hutan itu.

“Padahal tetap punya negara. Waktu itu, Dumai, memang terkenal dengan ganti rugi tanah. Saya tidak tahu itu.”

Mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi di Pekanbaru meneliti keragaman jenis mangrove di Bandar Bakau Dumai. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia
Mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi di Pekanbaru meneliti keragaman jenis mangrove di Bandar Bakau Dumai. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Konsisten

Kegiatan awal Darwis dan kawan-kawan membersihkan sampah yang terbawa pasang surut air laut di sela-sela pohon mangrove, termasuk sisa-sisa tebangan kayu.

READ  Kasuari, Burung Purba Penjaga Hutan Papua

Masa itu, sebenarnya mereka lebih banyak habiskan berdiskusi dan berdebat sambal bermusik sekaligus berkemah.

Sejumlah ide bermunculan. Ada yang ingin kawasan hutan mangrove itu jadi pasar seni dan panggung alam. Membayangkan para seniman dari Taman Mini Indonesia (TIM) datang ke situ. Yang kesampaian mendatangkan pelukis dari Yogyakarta. Dibantu beberapa teman Darwis yang kebetulan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Selain aktivis dan mahasiswa, Darwis juga punya rekan buta huruf. Ini menjadi nuansa tersendiri bagi dia dalam menyelamatkan hutan mangrove ini.

Setidaknya, lebih satu tahun, Darwis dan kawan-kawan cenderung banyak berkumpul di kawasan mangrove ini. Seiring waktu, satu per satu mereka punya kesibukan sendiri.

Pada 2007, Darwis benar-benar tinggal seorang diri. Saat itulah, penentuan apakah terus berjuang atau beralih.

Darwis tetap dengan semangat dan cita-citanya. Dia pun mulai mengajak warga sekitar untuk terlibat menanam. Tak sedikit yang menolak dan mencibir. Mereka anggap pekerjaan itu aneh dan tidak menghasilkan uang dengan bermain lumpur.

Masyarakat sempat terpengaruh dengan rencana Pelindo memperluas pelabuhan. Berharap bekerja di situ.

Darwis terus menanam dan meyakinkan orang-orang meski terkadang dibilang bodoh. “Baru pada 2009, masyarakat benar-benar yakin dengan kegiatannya. Itu pun setelah diimbau dan diajak Ketua Rukun Tetangga yang aktif memungut sampah laut,” katanya.

Di tengah dia dan warga semangat merawat hutan, berhadapan dengan Pelindo yang ingin memperluas pelabuhan. Perusahaan pelat merah ini mulai mengukur dan menancapkan pancang.

Pelindo, klaim mereka memiliki hak atas kawasan mangrove itu berdasarkan sertifikat 1990. Darwis tidak peduli bahkan protes karena perusahaan tidak sosialisasi dan mengadakan konsultasi publik terlebih dahulu.

Dalam kondisi itu., Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan SK 903/2016 tentang kawasan hutan Riau. Kawasan yang sebelumnya berstatus areal penggunaan lain beralih jadi hutan produksi terbatas seluas 31 hektar.

Saat ini, hubungan Darwis dan Pelindo masih kurang harmonis. Sering Pelindo membujuk dengan berbagai cara agar Darwis keluar dari kawasan hutan mangrove itu.

M Kahar Jami bilang, Darwis manusia unik,  orang langka. Dengan komitmen dan berintegritas, Darwis tekun menjaga hutan mangrove.

Kahar biasa dipanggil Wack Jack, sesama seniman dan kerap satu panggung bersama Darwis. Keduanya saling kenal, ketika Wack Jack,  masih kuliah arsitek di Bandung.

Tiap libur, dia mampir ke pondok Darwis untuk berdiskusi. Banyak hal dibicarakan.

Darwis Mohd Saleh, penjaga dan pelestari hutan mangrove di pesisir Dumai, yang diberi nama Bandar Bakau Dumai. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia.
Darwis Mohd Saleh, penjaga dan pelestari hutan mangrove di pesisir Dumai, yang diberi nama Bandar Bakau Dumai. Foto Suryadi/ Mongabay Indonesia.

 

Melawan dengan karya

Darwis kerap menulis puisi dan cerpen. Karyanya terbit di media lokal dan dibacakan di radio-radio seantero Dumai. Dia juga penulis naskah dan pemain teater. Banyak karya ditampilkan dari panggung ke panggung dalam berbagai helatan di kota itu. Kebanyakan ceritakan kegelisihan terhadap kondisi dan kualitas lingkungan yang makin menurun.

Hutan mangrove yang direhabilitasi Darwis disebut Bandar Bakau. Penamaan itu muncul spontan, ketika Dumai tuan rumah peringatan Hari Nusantara 2011. Ceritanya, Menkopolhukam akan singgah ke sana. Sebelum rombongan tiba, utusan Wali Kota Dumai terlebih menemui Darwis menanyakan nama tempat itu.

READ  Perdagangan Satwa Liar Dilindungi Tinggi, Pencegahannya?

Setelah 24 tahun, kini, Bandar Bakau telah pulih. Pohon mangrove lebih 20 jenis tumbuh rapat dan menjulang pada 25 hektar. Ia pusat ekonomi baru dengan memberdayakan masyarakat terutama perempuan sekitar. Akademisi dan mahasiswa meneliti di sana. Pelajar dari seluruh jenjang pendidikan dalam dan luar daerah mengunjunginya untuk bermain.

“Bandar Bakau Dumai sebagai habitat flora dan fauna, baik yang hidup di perairan laut maupun daratan. Juga sebagai benteng ekologis bagi alam dalam mempertahankan diri dari bencana lingkungan pesisir,” kata Aras Mulyadi, Rektor Universitas Riau 2014-2022.

Dia meneliti di Bandar Bakau Dumai soal aspek ekologi, lingkungan, kelembagaan, sosial dan ekonomi.

Darwis juga mendirikan bank mangrove untuk menjaga ketersediaan bibit sejak 2010, sekaligus menopang pemulihan Bandar Bakau, khusus dan Dumai umumnya.

Bank mangrove itu, katanya,  proses persemaian bibit mangrove mulai dari propagul, sistem kacang-kacangan dan biji-bijian.

“Bank mangrove untuk sertifikasi pengadaan bibit yang selama ini, salah dalam menekan deforestasi hutan mangrove di Dumai,” katanya.

 

Siapa nasabah bank mangrove?

  1. Orang yang sukarela mengisi lumpur dalam polybag untuk wadah pembibitan. Tiap-tiap polybag yang terisi dihitung sebagai tabungan. Jumlahnya dibukukan berdasarkan nama nasabah. Sewaktu-waktu nasabah dapat mengambil bibit secara cuma-cuma alias gratis bila diperlukan untuk aksi penanaman.
  2. Orang atau nasabah menabung dengan uang. Pengurus bank mangrove akan menggunakan dana itu buat beli peralatan dan perlengkapan pembibitan termasuk operasional terkait lainnya.
Gelombang Reforman, putra bungsu Darwis, tiap pagi mengisi lumpur dalam polybag buat pembibitan mangrove. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia.
Gelombang Reforman, putra bungsu Darwis, tiap pagi mengisi lumpur dalam polybag buat pembibitan mangrove. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia.

 

Darwis dan kawan-kawan pernah mengampanyekan Dumai Kota Bakau dan kena protes pemerintah kota karena kala itu telah dijuluki kota minyak.

Alhasil berdebat dengan mengaitkan legenda Putri Tujuh, cerita rakyat tentang sejarah Dumai. Sepenggal dongeng ini menyebut buah bakau menimpa pasukan Pangeran Empang Kuala ketika bertempur melawan pasukan Cik Sima, Ratu Kerajaan Seri Bunga Tanjung.

“Satu yang saya masih kagum dengan beliau adalah konsistensi dan komitmen. Orangnya keras dan berprinsip. Gak banyak yang kayak beliau. Takutnya nanti, kalau beliau sudah meninggal penerus gak ada lagi,” kata Windi Syahrian, alumnus mahasiswa ilmu kelautan Universitas Riau.

Windi, pertama kenal dan ketemu Darwis saat praktikum jurusan, sekitar 2009. Dua tahun kemudian, makin intens berhubungan dalam survei dan ekspedisi tujuh pulau di Selat Rupat.

Waktu itu, mahasiswa dan alumni ilmu kelautan kerjasama dengan Pecinta Alam Bahari, organisasi pimpinan Darwis, buat pendataan potensi alam di pulau-pulau.

Kini, Darwis menetap dalam hutan Bandar Bakau itu. Tinggal bersama putra bungsu, istri dan ibunya. Bukan berkemah, dia mendirikan pondok dan meninggalkan rumahnya yang layak dan nyaman ditempati untuk usia yang makin senja.

“Saya memang makin tua. Tapi semangat dan jiwa patriot saya tetap masih muda,” kata Darwis.”

 

******

 

SUMBER: MONGABAY

Enable Notifications    Ok No thanks