Di TNGHS, “Si Mata Bulan” Kembali Hidup Bebas

Hawa mulai sejuk, kabut tipis mulai tersapu angin sepoi – sepoi yang dingin.  Sedikit demi sedikit langit perlahan berganti warna menjadi lembah biru. Lembah biru adalah kesetiaan sang alam menyambut terang. Lembah biru adalah persimpangan hitam dan putih, perantara gelap dan terang, penyambung malam dan siang.

Di atap langit Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Kabupaten Bogor, Jawa Barat,   Lembah Biru kala itu sedang cerah, secerah nasib 20 ekor kukang jawa (Nycticebus Javanicus), terdiri dari 10 ekor jantan dan 10 ekor betina yang sudah siap kembali bercumbu dengan alam.

Semua kukang tersebut bakal dilepasliarkan di kawasan konservasi seluas 113.357, diapit oleh puncak Gunung Halimun 1.929 mdpl dan puncak Gunung Salak 2.211 mdpl.

Pelepasan Kukang secara liar diprakarsai oleh Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Satwa International Animal Rescue (IAR) Indonesia, bekerjasama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, pada Selasa (20/12/2016).

Sudah sejak lama Kukang (Nycticebus Sp) menjadi perhatian banyak pihak. Primata berukuran 20 – 30 sentimeter itu sering dijuluki “si malu-malu”. Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN) keberadaan kukang masuk kategori terancam punah.

Primata endemik Indonesia ini bahkan masuk ke dalam 25 primata paling terancam punah di dunia pada tahun 2008 – 2010 silam. Di Indonesia ada tiga jenis kukang, diantaranya kukang jawa (Nycticebus javanicus), kukang kalimantan (Nycticebus menagensis) dan kukang sumatera (Nycticebus coucang).

 

Kukang jawa (Nycticebus javanicus), merupakan primatan endemik Indonesia yang keberadaannya semakin terancam. Foto Donny Iqbal

Kukang jawa (Nycticebus javanicus), merupakan primatan endemik Indonesia yang keberadaannya semakin terancam. Foto Donny Iqbal

 

Robithotul Huda sebagai Surpervisor Survey Release Monitoring IAR mengatakan fenomena perdagangan dan perburuan menjadi penyebab utama penyusutan populasi kukang di alam liar. Dalam pengamatan IAR, tahun 2015 ada sekitar 210 ekor kukang di perdagangkan di 4 pasar besar di Indonesia diantaranya Bandung dan Jakarta.

Jenis kukang yang didisplay paling banyak adalah kukang jawa, berjumlah 131 ekor dibanding jenis lainnya yakni non jawa 71 ekor dan yang tidak teridentifikasi ada 8 ekor.  Adapun perbandingan kelas umur Kukang yang didisplay adalah 156 ekor dewasa, 56 ekor remaja, dan 5 ekor anakan.

READ  Translokasi Dua Ekor Gajah Liar dari Permukiman Warga di Riau

Berdasarkan hasil temuan di lapangan, sebanyak 30% Kukang mati pada fase perdagangan maupun pemeliharaan. Setiap tahunnya ada sekitar 400 ekor kukang diperdagangkan.  Jumlah itu belum pada angka pemeliharaan, tapi menurut data IAR lebih dari 800 ekor kukang  sudah diambil dari alam dalam kurun waktu 1 tahun.

“Padahal, masa kawin kukang terjadi setiap 1 tahun sekali  dan hanya menghasilkan 1 anakan saja. Masa kehamilan kukang berkisar antara 6 – 7 bulan, kemudian anakan kukang nantinya akan berada bersama induknya  selama satu tahun, setelah itu dilepas untuk mencari makan sendiri. Jadi, laju pertumbuhan populasi kukang sangat lambat,” katanya.

 

Sejumlah relawan membawa kukang jawa (Nycticebus javanicus) dengan menggunakan kandang transport yang nantinya akan dilepasliarkan di Taman Nasiona Gunung Halimun Salak (TNGHS). Foto Donny Iqbal

Sejumlah relawan membawa kukang jawa (Nycticebus javanicus) dengan menggunakan kandang transport yang nantinya akan dilepasliarkan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Foto Donny Iqbal

 

Dia mengungkapkan, untuk mendapatkan data populasi kukang di alam liar sangat sulit. Sampai saat ini belum banyak penelitian tentang kukang. Tetapi IAR mengamati dari temuan di jalur perdagangan dan perburuan yang kian masif, dengan  tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Bisa jadi populasi kukang di alam liar semakin menyusut.

Di alam liar kukang memiliki daya jelajah yang cukup luas sekitar 5 hektare. Dalam wilayah tersebut, biasanya kukang memiliki teritori yang lebih sempit. Di kawasan teritorialnya rata – rata terdapat  1 ekor kukang betina atau bahkan bisa lebih karena memang kukang bukan primata monogami (setia pada satu pasangan).

“Kukang merupakan satwa nokturnal (aktif di malam hari), meskipun dikenal dengan sebutan malu – malu tetapi kukang akan lebih agresif ketika malam hari. Kukang dipersejatai taring yang berguna untuk mencari memakannya.  Pakan alami kukang adalah nektar, getah, tumbuhan semisal tepus dan harendong. Cenderung jarang makan buah,” ungkapnya.

 

Petugas melepasliarkan Kukang jawa (Nycticebus javanicus) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Berdasarkan data Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Satwa International Animal Rescue (IAR) Indonesia, sebanyak 400 ekor kukang diambil dari alam untuk diperjualbelikan, Foto Donny Iqbal

Petugas melepasliarkan Kukang jawa (Nycticebus javanicus) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Berdasarkan data Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Satwa International Animal Rescue (IAR) Indonesia, sebanyak 400 ekor kukang diambil dari alam untuk diperjualbelikan, Foto Donny Iqbal

 

READ  Penemuan Bayi Kembar Orangutan Tapanuli Soroti Ancaman Pembangunan PLTA

Akibat perdagangan dan pemeliharaan, taring kukang seringkali di potong hingga membuat cacat permanen. Sehingga terjadi infeksi mulut yang menyebabkan kematian karena kukang tidak bisa makan. Huda berujar, pernah ditemukan kukang yang di potong taringnya hingga robek sampai gusi. Rata – rata kukang hanya akan berumur 6 bulan saja saat diperdagangkan maupun dipelihara.

“Padahal taring tersebut juga berguna untuk menjaga diri dari predator maupun kompetitornya. Kukang sebenarnya lebih ke omnivora karena memangsa juga serangga dan burung kecil. Peran kukang di ekosistem alam berperan sama seperti primata lainnya sebagai penebar benih, membantu penyerbukan bunga dan ditambah dengan kemampuannya mengontrol populasi serangga,” kata Robithotul.

 

Dokter memperlihat gigi kukang jawa (Nycticebus javanicus) yang telah di potong di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Satwa International Animal Rescue (IAR) Indonesia, Bogor, Jawa Barat. Menurut pengamatan IAR, kukang yang taringnya di potong tidak bisa dilepas liarkan. Foto Donny Iqbal

Dokter memperlihat gigi kukang jawa (Nycticebus javanicus) yang telah di potong di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Satwa International Animal Rescue (IAR) Indonesia, Bogor, Jawa Barat. Menurut pengamatan IAR, kukang yang taringnya di potong tidak bisa dilepas liarkan. Foto Donny Iqbal

 

Sama seperti owa jawa, surili dan lutung jawa, kukang juga tergolong primata arboreal (hidup di pepohonan). Hubungan diantara mereka terjalin rukun dan hidup berdampingan (cohabit). Di dalam satu pohon misalnya, Owa Jawa akan memakan buah, Surili memakan pucuk daun muda, serta lutung jawa memakan daun yang sudah tua.

Owa jawa, surili dan lutung jawa bersifat aktif di siang hari (diurnal), berbeda dengan ruang lingkup kukang yang nokturnal. Kukang tinggal di pohon yang tidak terlalu tinggi berkisar 5 – 12 meter. Kukang tidak hidup di hutan primer, melainkan hidup diperbatasan hutan dengan kebun. Sehingga kukang berperan sebagai pengendali serangga yang bisa menyerang perkebunan warga.

 

Kukang Sebagai Pertanda

Sedikitnya ada tiga jenis primata yang terancam punah, yaitu surili, owa jawa dan kukang. Dalam mitos yang berkembang di masyarakat, ketiga primata itu diyakini dalam perilakunya memberikan sebuah isyarat tentang kondisi alam.

Pertama surili (Presbytis Comata). Dalam cerita Sunda bisa dimaknai sebagai “Suara atau Pendapat Rakyat”.  Hal ini tergambar dalam cerita Lutung Kasarung ketika Guruminda turun dari Kahiyangan di tengah hutan dan maka kehadirannya disambut oleh Surili.

READ  Mengagumi Keindahan Leuser

“Surili anu sareuri, tingguntayang bararungah,

mapag putra Sunan Ambu, nu lungsur ka marcapada,

Pasir Batang Anu Girang, sagirangeun birit leuwi,

birit leuwi peupeuntasan, peupeuntasan Pajajaran.”

Pantun tersebut bermakna, ketika ada yang berniat jahat, maka surili itu akan menyembunyikan diri dan tidak memperdengarkan suaranya karena ketakutan. Kebiasaan surili bila di hutan selalu ramai bersahut-sahutan, tetapi bila ada sesuatu yang mencurigakan, mereka akan berdiam sehingga di hutan pun sunyi senyap.

 

Kukang jawa (Nycticebus javanicus), merupakan primatan endemik Indonesia yang keberadaannya semakin terancam. Foto Donny Iqbal

Kukang jawa (Nycticebus javanicus), merupakan primatan endemik Indonesia yang keberadaannya semakin terancam. Foto Donny Iqbal

 

Kedua, owa jawa (Hylobates Moloch). Dimaknai sebagai kewaspadaan kelompok yang mampu mengamati situasi. Tergambarkan dalam lantunan pantun Sunda.

“Di leuweung Sumenem Jati,

owa-owa ngaraririung,

sakumbuhan-sakumbuhan,

ngawaskeun nu karek datang.”

Di hutan Sumenem Jati (hutan yang rindang), Owa-owa berkelompok memperhatikan dengan cermat kepada siapa saja yang baru datang atau dianggap asing. Kebiasaan Owa adalah monogami sehingga sangat memperhatikan lingkungan sekitar.

Ketiga Kukang. Menurut mitos Sunda, keberadaan kukang diyakini bisa mengakibatkan longsor seandainya aliran darahnya mengalir ke tanah. Artinya jika kukang hilang dari habitatnya, besar kemungkinan pohon – pohon sudah tidak ada lagi. Kukang hidup mulai dari 0 – 1300 mdpl. Habitatnya berada di hutan sekunder, hutan bambu, dan kadang ditemukan juga dalam hutan mangrove.

Di tempat lain, masyarakat ada yang mengaitkan kukang dengan hal – hal mistis. Selain itu, mata kukang yang besar sering juga dinamai “Mata Bulan” karena memiliki kemampuan melihat dengan jelas di malam hari.

 

 

Kukang jawa (Nycticebus javanicus) saat berada di kandang Habituasi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Sebelum dilepasliarkan kukang harus berada di kandang habituasi selama 4 minggu untuk beradptasi terhadap lingkungan liarnya. Foto Donny Iqbal

Kukang jawa (Nycticebus javanicus) saat berada di kandang Habituasi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Sebelum dilepasliarkan kukang harus berada di kandang habituasi selama 4 minggu untuk beradptasi terhadap lingkungan liarnya. Foto Donny Iqbal

 

Masyarakat Menjaga Hutan

Di perbatasan antara Bogor dan Sukabumi, daerah tempat pelesapasan kukang, tepatnya di Kampung Sukagalih, Desa Cipeteuy, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, (daerah kaki Gunung Salak). Ade komarudin tokoh masyarakat setempat mengatakan, hutan merupakan tumpuan kehidupan, segala macam makhluk hidup di dalamnya adalah keteraturan yang harus tetap di jaga.

“Termasuk kukang, Ia adalah jenis hewan yang harus kita lindungi, apalagi mendengar keberadaanya terancam punah, itu dapat berakibat pada hilangnya salah satu ekosistem yang ada di alam. Apalagi kukang yang bermanfaat untuk penebar benih, penyerbukan bunga dan kemampuannya mengontrol populasi serangga,” katanya

Dia melanjutkan, bahwa TNGHS menerapkan program Model Kampung Konservasi (MKK), dalam upaya memberdayakan masyarakat sekitar di kampung dengan jumlah 41 kepala keluarga (KK) ini. Dalam program MKK tersebut, terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi warga sekitar.

 

Kukang jawa (Nycticebus javanicus), merupakan primatan endemik Indonesia yang keberadaannya semakin terancam. Foto Donny Iqbal

Kukang jawa (Nycticebus javanicus), merupakan primatan endemik Indonesia yang keberadaannya semakin terancam. Foto Donny Iqbal

 

“Warga diberi penyuluhan terlebih dulu oleh pihak TNGHS untuk membentuk sebuah kelembagaan, dari sana masyarakat diberi pemahaman mengenai rehabilitasi dan restorasi kawasan yang rusak”. Ungkapnya.

Lalu, kami diajarkan program obesrvasi partisipasif yaitu pengamanan hutan secara swadaya, masyarakat membentuk patroli hutan untuk menjaga dan melestarikan hutan. “Mari jaga keutuhan hutan. Kami percaya bahwa kalau gunung weteuh, masyarakat teu riweuh (Gunung lestari, masyarakat berdikari),” pungkas Ade.

 

 

SUMBER : Mongabay.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Enable Notifications    Ok No thanks