Dulu Bersahabat, Kenapa Sekarang Manusia Memusuhi Gajah?

  • Dulu, hutan di wilayah perbukitan di sekitar Danau Ranau [Sumatera Selatan-Lampung] menjadi ruang hidup harmonis antara manusia dan gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus].
  • Manusia dan gajah butuh hutan. Tanaman atau tumbuhan di hutan yang dimakan gajah, juga dimakan manusia. Bahkan sebagian rumput yang dimakan gajah dijadikan obat oleh manusia.
  • Setelah tahun 1980-an, sering terjadi konflik manusia dengan gajah. Baik di wilayah Gunung Raya, Sakau, Saka, Gunung Pesagi, maupun Mekakau.
  • Jejak Bumi Indonesia [JBI] memperkirakan populasi gajah di Kabupaten OKU Selatan pada saat ini kisaran 100-an individu. Tersebar dalam sejumlah kelompok di Mekakau, Gunung Raya, Saka, dan Gunung Pesagi.

 

**

 

Hutan di wilayah perbukitan sekitar Danau Ranau, Sumatera [Sumatera Selatan-Lampung], selama ratusan tahun menjadi ruang hidup bersama manusia dengan satwa, khususnya gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus].

Di sekitar atau di hutan yang berada pada ketinggian 500-3.221 meter dari permukaan laut [mdpl], manusia dan gajah hidup harmonis. Tidak terjadi konflik.

Mengapa?

“Kami saling berbagi. Kami sama-sama memanfaatkan tanaman yang ada di hutan. Kami tidak mengganggu rumah mereka, begitu pun gajah tidak mengganggu rumah kami, dusun kami,” kata Nuryam Komari [85], warga Desa Pilla, Buay Pematang Ribu Ranau Tengah [BPRRT], Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan, Sumatera Selatan, Desember 2022 lalu.

“Dari hutan itu, kami dan gajah mendapatkan sumber makanan dan obat. Jika ada gajah makan durian atau manggis di hutan, kami tidak mengambil buahnya. Sebaliknya, jika kami mengambil durian atau manggis, tidak ada gajah yang mengganggu.”

“Jika pun ada rombongan gajah masuk dusun, mereka hanya lewat. Tidak merusak atau mengganggu kami,” ujarnya.

READ  Jejak Harimau Sumatera di Kebun Karet Warga, BBKSDA Riau Turunkan Tim
Seorang mahout asik bermain bersama gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Seorang mahout asik bermain bersama gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Itu dulu. Setelah tahun 1980-an, sering terjadi konflik manusia dengan gajah. Baik di  wilayah Gunung Raya, Sakau, Saka, Gunung Pesagi, maupun Mekakau.

“Mungkin karena hutan dibuka, sehingga banyak tanaman berkurang yang membuat manusia dan gajah berebut. Banyak korban dari konflik itu. Lalu gajah-gajah ditangkap, dibawa pergi dari sini,” ujar Nuryam.

Sekarang ini, lanjutnya, populasi gajah mulai berkurang, yang seharusnya mereka [gajah] dapat hidup tenang di dalam hutan [tersisa]. “Kita [manusia], jangan terus membuka hutan.”

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 76/Menhut-II /2010  tanggal  10 Februari 2010 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung [KPHL] dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi [KPHP] Provinsi Sumatera Selatan, wilayah hutan yang dikelola UPTD KPH [Kesatuan Pengelolaan Hutan] Wilayah VII Mekakau Saka Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan seluas 201.112,38 hektar. Terdiri dari kawasan konservasi [173.029,38 hektar], hutan produksi [17.845 hektar] dan hutan produksi terbatas [10.238 hektar].

Hutan konservasi terdiri Hutan Lindung OKU Selatan [66.306,38 hektar], Hutan Lindung Mekakau [40.992 hektar], Hutan Lindung Peraduan Gistang [17.917 hektar], Hutan Lindung Saka [2.819 hektar], Suaka Margawatwa Gunung Raya [44.995 hektar], serta Hutan Produksi Saka [17.845 hektar], dan Hutan Produksi Terbatas Saka [10.238 hektar].

Dulu, hampir setiap tahun kawanan gajah dari berbagai habitat turun ke Danau Ranau, Sumatera Selatan-Lampung ini. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia
Dulu, hampir setiap tahun kawanan gajah dari berbagai habitat turun ke Danau Ranau, Sumatera Selatan-Lampung ini. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Butuh hutan

Bukan hanya gajah yang butuh hutan,”Kami juga butuh hutan. Kalau hutan habis, dusun-dusun di sini kehilangan air. Air itu bukan hanya untuk kebutuhan di rumah, juga untuk sawah kami,” kata Nuryam Komari.

“Bayangkan jika hutan habis. Hidup kami pasti susah. Di musim kemarau pasti kami sulit air,” ujarnya.

“Di musim penghujan, jika hutan habis, pasti akan banyak terjadi longsor atau banjir di dusun-dusun sekitar Danau Ranau,”  kata Iptoni [57], warga Desa Tanjung Kemala, Buay Pematang Ribu Ranau Tengah [BPRRT], Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan, Sumatera Selatan.

READ  Transisi Energi, Perlu Perhatikan Masyarakat Sekitar Tambang Batubara

“Saat ini sering terjadi banjir dan longsor,” kata Iptoni.

Tanaman di hutan yang disukai gajah semisal durian, aren, rotan, kelapa, manggis, bambu, nenas, pisang, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. “Tapi secara umum, gajah menyukai tanaman bergetah putih,” kata Syamsuardi, Ketua PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa].

“Hutan di dataran tinggi dan rendah di sekitar Danau Ranau sama seperti hutan di Bukit Barisan lainnya di Sumatera. Kaya tanaman yang dapat dikonsumsi gajah, termasuk pula melimpahnya air dan garam,” ujarnya.

Sebagian besar tanaman yang dimakan gajah, juga dikonsumsi manusia. Misalnya durian, aren, manggis, dan rebung.

“Di dusun kami, durian itu dimakan gajah dan harimau dan kami berbagi. Buah pertama, biasanya dimakan gajah,” kata Herman [23], pedagang durian dari kawasan Suku Dayo, Kabupaten OKU Selatan.

“Sementara dengan harimau berbagi durian di malam hari. Misalnya saat menunggu durian jatuh di kebun, buah pertama yang jatuh tidak kami ambil. Itu milik harimau. Buah kedua yang jatuh, kami yang ambil. Seterusnya bergantian,” lanjutnya.

Sejumlah tanaman rumput yang dimakan gajah, dijadikan manusia sebagai obat. Misalnya, pegagan [Centella asiatica].

“Ada yang menyebut pegagan gajah, sebab biasa dimakan gajah,” kata Iptoni.

“Daun pegagan, baik disayur maupun dilalap, sangat bagus dikonsumsi ibu yang habis melahirkan. Daun pegagan dipercaya melancarkan ASI [Air Susu Ibu]. Sementara tanaman yang dimakan gajah, yang dapat dijadikan obat lainnya seperti kayu tenam, lengkuas, juga pandan,” jelasnya.

Jalur gajah sumatera yang menghubungkan Gunung Raya dengan Gunung Pesagi di Kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan, yang dibuka warga menjadi perkebunan kopi. Lokasi ini berada di Desa Kiwis Raya. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia
Jalur gajah sumatera yang menghubungkan Gunung Raya dengan Gunung Pesagi di Kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan, yang dibuka warga menjadi perkebunan kopi. Lokasi ini berada di Desa Kiwis Raya. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

100-an individu

Hendra Setyawan dari Jejak Bumi Indonesia [JBI] menuturkan, populasi gajah di Kabupaten OKU Selatan diperkirakan 100-an individu. Persebarannya dalam sejumlah kelompok di Mekakau, Gunung Raya, Saka, dan Gunung Pesagi.

“Data ini berdasarkan pengaduan warga, yang bertemu berbagai kelompok gajah. Misalnya, ada kelompok yang terdiri dari tujuh atau delapan individu,” katanya.

READ  Upaya Rahman Manik Jaga Primata di Tengah Pakan Hutan Sibaganding Terbatas

Menurut Hendra, antara Gunung Raya dengan Gunung Pesagi, masih ditemukan tiga atau empat kelompok gajah. Persoalannya di wilayah ini bukan kawasan lindung, tapi hutan produksi [HP dan HPT]. Sementara di Mekakau, juga ditemukan beberapa kelompok gajah yang diperkirakan dari wilayah TNBBS [Taman Nasional Bukit Barisan Selatan].

“Persoalannya, masyarakat yang hidup di sekitar hutan itu memandang gajah sebagai ancaman. Banyak gajah mati, misalnya termakan racun, dan begitu pun sebaliknya ada manusia tewas terinjak gajah,” jelasnya.

Keharmonisan yang berlangsung selama ratusan tahun, tiba-tiba hilang dalam beberapa belas tahun terakhir.

“Kita semua harus mengembalikan keharmonisan ini,” paparnya.

 

SUMBER: MONGABAY

 

Enable Notifications    Ok No thanks