Hilangnya Hutan Tropis: Suhu Meningkat Mengancam Proses Fotosintesis
- Sebuah studi menyebutkan kenaikan suhu menyebabkan ‘kerusakan permanen’ pada kemampuan fotosintesis daun di hutan tropis. Jika perubahan iklim terus berlanjut, seluruh pohon di hutan tropis bisa mati.
- Ada lebih dari 0.01 % daun di hutan tropis sudah melebihi batas suhu kritis untuk melakukan fotosintesis, setidaknya satu kali dalam setahun. Presentasenya akan meningkat hingga 1,4% dalam perubahan iklim di masa depan karena daun lebih cepat menghangat daripada udara.
- Kegagalan proses fotosintesis daun pada pohon hutan tropis menurun jika rata-rata suhunya sekitar 46,7 derajat Celcius. Kondisi ini dapat menutup stomata dan mengurangi pendinginan transpirasi sehingga daun tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Suhu daun ini jauh lebih panas dari suhu udara.
- Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat September 2023 adalah periode terpanas sepanjang sejarah bumi dengan selisih yang terbesar dari tahun-tahun sebelumnya. Di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan suhu bisa melonjak hingga 40 derajat Celcius pada musim kemarau di bulan Oktober ini.
Tidak ada yang lebih mengerikan, selain membayangkan semua pohon di hutan tropis mati dan tumbang secara perlahan. Ancaman saat ini tidak hanya penebangan hutan atau kebakaran, tapi karena tingginya suhu akibat perubahan iklim. Dampaknya kemampuan fotosintesis daun di hutan tropis menurun.
Sebuah studi terbaru menyebutkan hutan tropis di dunia lebih dekat dengan ambang batas suhu tinggi kritis dibandingkan perkiraan sebelumnya. Studi yang berjudul “Hutan tropis mendekati ambang batas suhu kritis ini diterbitkan oleh jurnal Nature pada Agustus lalu ini menemukan sebagian kecil daun tropis telah mencapai dan melampaui suhu yang normal.
“Kegagalan proses fotosintesis daun pada pohon hutan tropis menurun jika rata-rata suhunya sekitar 46,7 derajat Celcius. Suhu daun ini jauh lebih panas dari suhu udara,” ungkap penelitian tersebut.
Kenaikan suhu menyebabkan ‘kerusakan permanen’ pada kemampuan fotosintesis. Jika perubahan iklim terus berlanjut, seluruh hutan tropis bisa mati. Padahal hutan tropis menjadi rumah bagi sebagian besar keanekaragaman hayati di dunia dan menjadi kunci dalam menjaga iklim di dunia.
Penelitian ini dipimpin oleh Chris Doughty dari Northern Arizona University. Penelitian ini juga ditulis oleh Emanuel Gloor dari School of Geography, bersama dengan para kolaborator dari Universitas Oxford, Universitas California, Université de Montpellier, dan lainnya.
Mereka menemukan lebih dari 0.01 % daun di hutan tropis sudah melebihi batas suhu kritis, yakni 46,7 derajat Celcius, untuk melakukan fotosintesis setidaknya satu kali dalam setahun. Presentasenya akan meningkat hingga 1,4% dalam perubahan iklim di masa depan karena daun lebih cepat menghangat daripada udara.
“Jika kamu memanaskan udara sebesar 2-3 derajat Celcius, maka suhu bagian atas daun-daun ini meningkat 8 derajat Celcius,” ujar Christopher Doughty, penulis utama dari Northern Arizona University dikutip dari straittimes.com.
Dalam skenario terburuk, jika peningkatan suhu permukaan rata-rata hutan tropis sebesar 4 derajat Celcius ini bisa menimbulkan dampak yang lebih luas. “Kami memprediksi kemungkinan kematian total,” ujar Doughty. Kenaikan suhu mendekati atau di atas optimal untuk fotosintesis dapat menutup stomata dan mengurangi pendinginan transpirasi sehingga daun tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Temuan prediksi kematian daun dapat menjadi faktor baru dalam “titik kritis” bagi hutan tropis. Akibat perubahan iklim dan penggundulan hutan, hutan tropis bisa bertransisi menjadi lanskap seperti sabana.
“Jika suhu meningkat sebesar 0,03 derajat Celcius per tahun, kami memperkirakan waktu rata-rata kematian daun adalah 132 tahun, namun kematian daun kanopi secara luas dapat terjadi pada awal 102 tahun dan paling lambat 163 tahun,” tulis penelitian tersebut.
Kerentanan Pada Musim Kemarau
Para peneliti menggunakan instrumen baru NASA, ECOsystem Spaceborne Thermal Radiometer Experiment on Space Station (ECOSTRESS). Satelit ini dirancang untuk mengukur suhu tanaman, selanjutnya diverifikasi di lapangan, sebagian menggunakan sensor yang dipasang pada masing-masing daun.
Peneliti mengukur suhu seluruh hutan tropis di Amerika Selatan, Afrika dan Asia Tenggara. “Selama periode kering dan hangat, seluruh daun hujan tropis melebihi 40 derajar Celcius,” ujar penelitian tersebut.
ECOSTRESS memberikan kombinasi tertinggi dari citra termal spasial dan temporal yang pernah diperoleh. “Selama ini, kami telah mempelajari pohon secara individu untuk mengumpulkan data dalam skala kecil atau menggunakan instrumen satelit untuk mengumpulkan data dalam skala besar,” ujar penulis studi, Joshua Fisher.
Para peneliti untuk mengumpulkan data dalam skala kecil di daerah tropis dengan penginderaan jarak jauh satelit. Sedangkan dalam melakukan pengukuran suhu pohon secara langsung dengan resolusi yang sangat tinggi, dari luar angkasa, dengan menggunakan penginderaan inframerah termal.
Lebih dari 150 tahun yang lalu, Sachs [1864] pertama kali melaporkan bahwa daun dari spesies tumbuhan berbeda dapat bertahan pada suhu hingga 50 derajat Celcius, namun akan mati pada suhu yang sedikit lebih tinggi. Di era perubahan iklim, temuan ini masih relevan.
“Seberapa dekat hutan dengan ambang suhu tinggi seperti yang diusulkan oleh Sachs merupakan isu yang sangat penting di hutan tropis, yang berfungsi sebagai penyimpan dan penyerap karbon yang penting, merupakan rumah bagi sebagian besar keanekaragaman hayati dunia dan mungkin lebih sensitif terhadap peningkatan suhu dibandingkan ekoregion lainnya,” tulis penelitian itu.
Kematian pohon
Belum pasti, apakah dampak kenaikan suhu daun ini akan berdampak pada hutan secara keseluruhan. Masih banyak yang belum diketahui tentang penyebab kematian sebuah pohon. Penelitian tersbeut mengatakan daun yang mati total bukan berarti tanaman tersebut mati total.
Namun, suhu kritis menyebabkan daun menjadi coklat dan mati yang berbeda-beda dari setiap spesies. Hal ini juga dipengaruhi pada ukuran, ketebalan daun dan lebar kanopi pada pohon.
Organisasi Meteorologi Dunia mencatat September 2023 adalah periode terpanas sepanjang sejarah bumi dengan selisih yang terbesar dari tahun-tahun sebelumnya.
“Sejak Juni, bumi mengalami panas yang belum pernah terjadi sebelumnya di daratan dan lautan. El Nino adalah hal yang mengkhawatirkan dan kami memprediksi suhu yang memecahkan rekor ini berlanjut selama beberapa bulan,” ujar Petteri Taalas, Sekretaris Jenderal WMO dalam rilis.
Menurut data Copernicus Climate Change Sevice (C3S) Uni Eropa, suhu rata-rata di bulan September mencapai 16,38 derajat Celcius. Angka tersebut 0,5 derajat Celcius lebih tinggi dibandingkan September 2020 dan 1,75 derajat Celcius lebih panas dari periode era pra-industri 1850-1900. Bahkan prediksi ini diprediksi tidak akan turun dalam waktu dekat.
Di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan suhu bisa melonjak hingga 40 derajat Celcius. Ini disebabkan musim kemarau yang melanda wilayah Indonesia hingga akhir Oktober ini.
Penelitian ini mengatakan bahwa ekosistem hutan tropis tidak dapat beradaptasi dengan perubahan suhu yang besar. Dampaknya adalah kemungkinan terjadinya kemarau yang lebih sering.
Kemarau semakin meningkatkan suhu udara, mengurangi kemampuan pendinginan evaporatif tanaman, mempercepat suhu daun dan kematian pohon. Dalam skenario iklim terbaru memperkirakan hutan tropis dapat bertahan hingga 3,9 derajat Celcius dari peningkatan suhu yang disebabkan perubahan iklim.
Doughty mengatakan penelitian model ini bukan menjadi takdir. “Ini menunjukkan bahwa dengan beberapa mitigasi perubahan iklim dasar, daerah tropis dapat menghindari nasib ini. Penelitian ini membantu menunjukkan beberapa area kunci yang membutuhkan penelitian lebih lanjut.”
SUMBER: MONGABAY