Jejak Panjang Konflik Manusia-Satwa di Sumatera

Bangkai gajah mati yang ditemukan di Desa Seumanah Jaya, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, Rabu (20/11/2019).

Konflik manusia dan satwa bukan persoalan baru di Sumatera. Sejak bertahun-tahun silam, satwa terus diburu hingga populasinya berkurang dan terancam punah. Habitat dan sumber pakan satwa terus terdesak akibat alih fungsi lahan hingga mereka merambah permukiman.

 

Berita konflik manusia dan satwa pertama kali muncul di harian Kompas pada 30 Juni 1967. Seekor harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) masuk permukiman warga di Kampung Halangan Ratu, Kecamatan Gedong Tataan, Lampung, karena kelaparan. Harimau itu masuk kampung pada siang hari dan menggasak lima kambing. Warga berupaya menangkap harimau itu hidup ataupun mati.

Ancaman kepunahan satwa juga mengemuka dalam berita Kompas, 4 Juni 1968. Keberadaan badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis) di hutan Marga Berbak, Jambi, tidak lagi ditemukan. Badak bercula satu yang biasa mengembara di hutan Muara Subak seluas 190.000 hektar kemungkinan besar punah. Menurut catatan tahun 1962, populasinya tinggal beberapa ekor saja.

Konflik terus berlangsung dan semakin meruncing bertahun-tahun kemudian. Satwa kian terdesak karena manusia mencari penghidupan di hutan belantara, habitat para satwa. Tak jarang konflik itu menimbulkan korban jiwa, luka-luka, dan harta benda.

Di Riau, tahun 1977, polisi melaporkan 38 orang, hampir semua petani, tewas akibat diserang harimau, beruang, dan gajah (Kompas, 14/8/1978). Angka itu lebih tinggi daripada korban pembunuhan di provinsi tersebut, 21 orang.

 

Harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) saat berada di Tambling Wildlife Nature Consevation (TNWC), Lampung, Rabu (22/1/2020). Harimau akan menjalani observasi setelah diduga berkonflik dengan warga di Muara Enim, Sumatera Selatan.

Kadapol IV/Riau Brigadir Jenderal (Pol) Drs Haji Yudioro, saat itu, mengatakan, korban tewas adalah petani di pedalaman, terutama para penyadap karet. Dari catatan polisi, kejadian umumnya berlangsung subuh saat petani mulai menyadap karet di tengah hutan lebat yang terkadang jaraknya dua jam perjalanan kaki dari rumah mereka.

READ  Owa Jawa Terancam Punah

Pada tahun 1981, tujuh gajah sumatra (Elephas maximus sumatrensis) menyerang perkampungan di Nagari Lubuk Gadang, Kecamatan Sangir, Solok Selatan, Sumbar (Kompas, 21/9/1981). Akibatnya, seekor kerbau mati, empat rumah roboh, satu rumah rusak, ratusan pohon kelapa masih muda tumbang, serta tanaman tebu, kopi, dan kentang rusak. Disebutkan pula, seorang peladang tewas diterkam harimau di Batang Parupuk, Kecamatan Palupuh, Agam.

Kepala Pengawetan dan Pelestarian Alam Sumbar Sumin menyebut kejadian itu aneh, meskipun ia tak dapat menjelaskan penyebab pasti serangan. Yang jelas perkebunan tebu, kopi, dan kentang yang diserang tersebut dulunya merupakan habitat gajah.

Berita itu menyebutkan pula seorang warga tewas akibat diterkam harimau di Batang Parupuk, Kecamatan Palupuh, Agam. Buyung Sutan Palimo, peladang, ditemukan tewas di kawasan hutan berbukit yang masuk wilayah cagar alam dengan jejak serangan harimau di tubuhnya, Sabtu (12/9/1981) pagi. Jumat (11/9) siang, Sutan Palimo pergi ke rimba sekitar satu kilometer dari rumahnya.

 


Tahun 2005, perburuan terhadap gajah sumatra dilaporkan semakin marak terjadi di Taman Nasional Way Kambas, Lampung (Kompas, 28/7/2005). Empat bulan terakhir, tiga ekor gajah ditemukan mati dalam kondisi mengenaskan, seperti tanpa gading, tanpa gigi, atau dengan amunisi senapan tertancap di gigi. Para pemburu liar mengincar gading dan gigi gajah yang laku dijual jutaan rupiah.

Di Riau, perseteruan gajah dan manusia juga terjadi. Gerombolan gajah yang habitatnya terdesak menyerang perkebunan dan permukiman warga. Warga membalas dengan menembak atau meracun gajah. World Wide Fund for Nature atau WWF Wilayah Riau mencatat, selama 2000-2006, 46 gajah mati akibat konflik (Kompas, 1/5/2006).

Setahun terakhir, tiga orang tewas diterkam harimau di Riau (Kompas, 1/2/2020). Selama Mei 2019, satu orang tewas dan satu orang luka akibat diterkam harimau dalam kejadian berbeda di Padang Lawas, Sumatera Utara (Kompas, 28/5/2019). Di Lahat, Sumatera Selatan, seorang warga tewas diterkam harimau pada 17 November 2019 (Kompas, 18/11/2019). Serangan harimau itu diduga akibat habitatnya yang kian terdesak oleh manusia.

READ  Riset Sebut Jualan Online Produk Turunan Trenggiling Marak dan Sebaran Meluas

 

Upaya Pencegahan

Pemerintah dari tahun ke tahun berupaya untuk mencegah konflik manusia dan satwa. Konservasi, perdagangan, dan perburuan satwa sudah diatur secara tegas melalui undang-undang dan peraturan pemerintah.

Regulasi itu antara lain Undang-Undang No 5/1990 tentang Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No 7/1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa, serta PP No 8/1999 tentang Pemanfaatan Satwa dan Tumbuhan Liar. Aturan itu memuat daftar hewan dilindungi (diperbarui Peraturan Menteri LHK No P.20/MENLHK/ SETJEN/KUM 1/6/2018) dan melarang tegas memiliki, menguasai, atau menyiksa satwa/tumbuhan yang dilindungi. Ada pula UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Meskipun demikian, laporan tentang serangan satwa terhadap manusia dan ternak, penyelundupan satwa mati ataupun hidup, habitat satwa yang kian terdesak akibat alih fungsi lahan, serta satwa terancam punah seolah tidak ada habisnya. Penegakan hukum yang konsisten dan kesadaran guna menjaga kelestarian lingkungan hidup menjadi hal mutlak untuk dilakukan.

 

 

 

SUMBER : KOMPAS

Enable Notifications    Ok No thanks