Kisah dari Lembaga Konservasi Orangutan di Sintang

Pekerjanya Ada yang Mantan Pelaku PETI, Orangutan yang Masuk Banyak Yang Kondisinya Menyedihkan

CEK KESEHATAN: Narto Adang dan Agus saat melakukan pengukuran badan individu orangutan bernama Gieke di pusat karantina Sintang, guna memantau perkembangan dan kesehatan Si Pongo. SINTANG ORANGUTAN CENTER FOR PONTIANAK POST
CEK KESEHATAN: Narto Adang dan Agus saat melakukan pengukuran badan individu orangutan bernama Gieke di pusat karantina Sintang, guna memantau perkembangan dan kesehatan Si Pongo. SINTANG ORANGUTAN CENTER FOR PONTIANAK POST

PROKAL.CO,

Si Pongo terancam karena pembukaan lahan, kebakaran hutan, perburuan dan konflik dengan manusia. Namun asa akan kelangsungan hidupnya terus dipelihara oleh orang-orang yang sadar dan peduli seperti para relawan di Sintang Orangutan Center (SOC).

Aris Munandar, Sintang

BAGI Narto Adang (34), mengabdi pada kelangsungan hidup orangutan adalah jalan penebusan dosanya pada alam. Karena, lelaki asal Desa Tontang, Serawai ini menyadari aktivitasnya dulu berkontribusi pada kerusakan hutan.

“Pernah kerja di perusahaan kayu. Di PETI juga pernah,” ujarnya sembari terkekeh mengingat begitu bertentangan apa yang dia kerjakan sebelum menjadi animal keeper di SOC. Kini dia dipercayakan sebagai Koordinator Animal Keeper di Pusat Karantina Sintang.

Adang sepenuhnya menyesali aktivitasnya dulu. Penyesalan itu muncul ketika ia merasa bahwa saat ini mencari makan di hutan sudah demikian susah. Buah-buah hutan sudah jarang. Memancing pun sulit dapat ikan. “Aku pikir itu tanda alam sudah rusak. Padahal orang tua kami bergantung hidup pada hutan. Hilangnya hutan mengurangi jalan hidup orang tua kami,” katanya.

Bagi Adang, hutan ialah sumber dari kehidupan. “Yang mana kita ketahui hutan tempat tumbuhnya pepohonan yang lebat. Tempat tersedianya stok makanan bagi hewan maupun manusia. Sumber dari udara yang bersih,” katanya.

Alasan Adang terjun mengabdikan diri pada kelangsungan hidup primata arboreal adalah karena hubungan si kera besar dan hutan sangat dekat. Keduanya saling membutuhkan dan saling memengaruhi.

Orangutan dikenal sebagai umbrella species atau spesies payung atau spesies yang dapat mendukung upaya konservasi spesies lain di hutan. Buah-buahan dan biji-bijian yang dimakan orangutan lalu dijatuhkan ke tanah (seed disperser) dapat berperan penting bagi regenerasi di hutan. Begitu pula sebaliknya. Hutan yang asri dapat menyediakan habitat yang nyaman dan makanan yang berlimpah bagi orangutan. Itulah kenapa Adang menyebut orangutan sebagai simbol dari hutan.

READ  Orangutan Tapanuli Menuju Jurang Kepunahan Akibat PLTA dan Perburuan

Saat perkebunan dan pertambangan serta penebangan liar sangat ekspansif menggerus hutan 20 tahun terakhir, satwa yang punya kedekatan genetik 97 persen dengan manusia ini juga terancam. Belum lagi perburuan, perdagangan dan konflik dengan manusia. Akibatnya, orangutan terancam kepunahan.

Merujuk pada analisis Population Habitat Viability Analysis (PHVA) tahun 2016, diperkirakan hanya tersisa 71.820 individu orangutan di Kalimantan dan Sumatera. Tentu sekarang angkanya sudah berubah. Orangutan masuk kategori kritis.

Kita patut bersyukur, ada Adang dan orang-orang yang berbuat untuk kelangsungan hidup orangutan. Juga SOC dan lembaga-lembaga serupa. Namun Adang mengakui, masyarakat yang memelihara orangutan dan enggan menyerahkan untuk direhabilitasi oleh SOC menjadi kendala konservasi orangutan di Sintang.

Sekolah Orangutan

“Kita ingin mengembalikan orangutan yang telah dipelihara cukup lama ke sifat alaminya lagi,” ujar Maria Suhatri, Koordinator Edukasi dan Publikasi menjelaskan tujuan SOC. Namun dia mengaku ada yang masih salah interpretasi yang menganggap SOC adalah pusat penangkaran.

SOC ialah lembaga konservasi orangutan yang berdiri sejak tahun 2010 di bawah Yayasan Kobus. Tak lepas dari kepedulian Pastor Jacques Maessen, ketua yayasan tersebut. Agamawan yang dikenal sebagai penjaga budaya dan lingkungan hidup di Sintang.

Selanjutnya, SOC dikelola oleh Yayasan Penyelamatan Orangutan Sintang (YPOS). Dengan kerja sama dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar. Di SOC, orangutan yang direhabilitasi adalah terluka akibat konflik dengan manusia. Atau kehilangan naluri alamiahnya karena terlalu lama dipelihara dalam kandang. Tujuannya melepasliarkan kembali individu orangutan tersebut ke habitatnya.

Ada tiga jenis orangutan di Indonesia, yaitu orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), orangutan sumatera (Pongo abelii), orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis). Berdasarkan lokasi konservasi, tentu jenis orangutan yang direhabilitasi di SOC adalah Pongo pygmaeus. Orangutan Kalimantan yang berada di SOC pun dikelompokkan lagi ke dalam tiga jenis, yaitu Pongo pygmaeus pygmaeus, Pongo pygmaeus morio, dan Pongo pygmaeus wurmbii. Sejak berdiri, SOC telah mengurus 54 individu orangutan.

READ  Hari Hutan Internasional: Merawat Hutan sebagai Sumber Kehidupan Manusia

Ada tahapan yang harus dilewati orangutan agar benar-benar siap hidup mandiri di hutan. Pertama, ada tahap karantina. Di tahap ini, orangutan yang didapatkan dari masyarakat, baik itu hasil penangkapan atau peliharaan, dipulihkan kondisi fisiknya.

“Karena orangutan yang  didapatkan seringkali menyedihkan kondisi fisiknya. Terutama malnutrisi karena kekurangan makanan atau diberi makan sembarangan. Ada juga yang datang dengan tangan patah atau luka-luka,” ujar Yaya. Saat ini, orangutan yang berada di pusat karantina berjumlah 10 individu.

Setelah kondisi fisik sudah baik, orangutan dibawa ke sekolah hutan, sebuah kawasan untuk menyebut pusat pelatihan untuk mengembalikan naluri alami orangutan yang sudah terlalu lama dikurung dan bergantung dengan manusia. SOC memilih Jerora 2, Kecamatan Sintang  dan Dusun Tembak, Desa Gurung Mali, Kecamatan Tempunak Hulu sebagai lokasi sekolah hutannya. Di sekolah hutan Jerora 2, ada 19 individu orangutan dan di Tembak ada 9 individu.

Di sekolah hutan, orangutan dihadapkan dengan semacam kurikulum. Berisi beberapa kompetensi yang harus dikuasai orangutan. Seperti mencari makan, membuat sarang, memanjat pohon, interaksi sesama orangutan dan melepaskan ketergantungan dengan manusia.

Individu orangutan dinyatakan lulus jika sudah memenuhi semua itu. Selanjutnya adalah pelepasliaran. Sejauh ini, SOC sudah melepasliarkan 10 individu orangutan. Namun kata Yaya, tidak semua orangutan bisa dilepasliarkan. Karena ada yang mengalami cacat fisik yang mengakibatkan ia tidak akan bisa hidup normal di alam liar. Hingga menjadi penghuni tetap di SOC. Ada pula yang meninggal saat karantina karena datang dengan kondisi fisik mengenaskan.

Untuk lokasi pelepasliaran, SOC bekerjasama dengan Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (BBTNBKDS). Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum di Kapuas Hulu menjadi pilihan SOC. Menurut Yaya, kedua lokasi itu adalah tempat paling tepat dan aman untuk melepasliarkan orangutan yang telah direhabilitasi.

READ  Riwayat Hutan Lindung 7 Hektare Berakhir Sebab Dibabat Wakil Rakyat

“Status lokasi sebagai Taman Nasional memberi perlindungan yang sangat baik bagi orangutan,” pungkasnya. (*)

SUMBER: kalbar.prokal.co

Enable Notifications    Ok No thanks