Studi Baru Temukan Luas Hutan Global Menurun Lebih dari 60 Persen

TEMPO.CO, Jakarta – IOP Publishing dalam jurnal Environmental Research Letters menerbitkan studi baru soal hutan secara global pada hari Senin, 1 Agustus 2022. Studi itu mengungkap bahwa selama 60 tahun terakhir kawasan hutan global telah menurun sebesar 81,7 juta hektare, kerugian yang berkontribusi pada penurunan lebih dari 60 persen luas hutan global per kapita. Kehilangan ini mengancam masa depan keanekaragaman hayati dan berdampak pada kehidupan 1,6 miliar orang di seluruh dunia.
Tim peneliti yang dipimpin oleh Ronald C. Estoque dari Center for Biodiversity and Climate Change, Forestry and Forest Products Research Institute (FFPRI) di Jepang, telah menemukan bahwa kawasan hutan global telah menurun sebesar 81,7 juta hektare dari tahun 1960 hingga 2019, setara dengan luas lebih dari 10 persen dari seluruh Pulau Kalimantan, dengan kehilangan hutan bruto (437,3 juta hektare) melebihi perolehan hutan bruto (355,6 juta hektare).
Tim menggunakan basis data dari penggunaan lahan global untuk memeriksa bagaimana hutan global telah berubah dari waktu ke waktu. Akibatnya, penurunan hutan global dikombinasikan dengan peningkatan populasi global selama periode 60 tahun telah mengakibatkan penurunan luas hutan global per kapita lebih dari 60 persen, dari 1,4 hektare pada tahun 1960 menjadi 0,5 hektare pada tahun 2019.
“Kehilangan dan degradasi hutan yang terus-menerus mempengaruhi integritas ekosistem hutan, mengurangi kemampuannya untuk menghasilkan dan menyediakan layanan penting dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Ini juga berdampak pada kehidupan setidaknya 1,6 miliar orang di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang, yang bergantung pada hutan untuk berbagai tujuan,” tulis para peneliti.
Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa perubahan pola spatiotemporal hutan global mendukung teori transisi hutan, dengan hilangnya hutan terjadi terutama di negara-negara berpenghasilan rendah di daerah tropis dan keuntungan hutan di negara-negara berpenghasilan tinggi di ekstratropis. Spatiotemporal analisis data adalah ketika data dikumpulkan melintasi ruang dan waktu. Ini menggambarkan fenomena di lokasi dan waktu tertentu..
Ronald C. Estoque, penulis utama studi tersebut, menjelaskan, “Meskipun pola spasial hilangnya hutan ini terjadi terutama di negara-negara kurang berkembang, peran negara-negara yang lebih maju dalam hilangnya hutan tersebut juga perlu dipelajari lebih dalam. Dengan penguatan konservasi hutan di negara-negara yang lebih maju, hilangnya hutan dipindahkan ke negara-negara kurang berkembang, terutama di daerah tropis.”
“Saat ini, pemantauan hutan dunia merupakan bagian integral dari berbagai inisiatif lingkungan dan sosial global, termasuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Perjanjian Iklim Paris dan Kerangka Keanekaragaman Hayati Global Pasca-2020. Untuk membantu mencapai tujuan dari inisiatif ini, ada kebutuhan besar untuk membalikkan, atau setidaknya meratakan, kurva kehilangan hutan bersih global dengan melestarikan hutan yang tersisa di dunia dan memulihkan serta merehabilitasi lanskap hutan yang terdegradasi,” tulis para peneliti.
SUMBER: tempo.co