Asa Berbiak Si Predator Terakhir di Habitat Kosong Gunung Ciremai

  • Macan jawa betina hasil rehabilitasi dilepasliarkan di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC).
  • Top predator endemik di kawasan konservasi TNGC seluas 14.841 hektar itu dinyatakan telah punah secara lokal alias kosong dari keberadaannya 
  • TNGC dan KLHK berencana membuat pusat penelitian pusat macan tutul di TN Gunung Ciremai.
  • Berkat pemetaan yang baik, International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2021, menurunkan status konservasi Panthera pardus melas menjadi endangered, dari sebelumnya yang critically endangered.

 

Di awal Maret yang basah, walkie talkie milik Erwin Wilianto sibuk menerima laporan. “Cek..cek.. Rasi sudah mulai aktif dan mondar-mandir. Ganti…,” demikian suara itu samar terdengar. Erwin lantas menjauhi riuh kerumunan yang menunggu pelepasliaran di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Resort Bintangot, Desa Seda, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Rasi adalah macan tutul Jawa betina yang berusia sekitar dua tahun. Nasibnya, malang oleh tragedi. Dia dipaksa lepas dari lindungan induknya sejak masih bayi pada tahun 2019 lalu. Kuat dugaan si induk mati diburu di wilayah Garut bagian selatan. Namun, Rasi diselamatkan dari warga setempat.

“Sempat ada upaya selama tiga hari menggunakan kandang khusus dengan harapan induknya bisa kembali untuk menjemput. Namun, nihil,” tutur Erwin pendiri Yayasan Save the Indonesian Nature and Threatened Species (SINTAS).

Di kandang habituasi berukuran 6 x 6 meter dengan tinggi 4 meter, seolah menjadi jalan bagi Rasi untuk hidup dan berbiak. Setidaknya, itu lebih baik setelah menghabiskan seluruh umurnya di Cikananga Wildlife Center, Sukabumi.

Pada layar monitor, Rasi jarang sekali muncul. Hanya sekelumit saja menampak diri. Sisanya, kamera pengawas hanya menampilkan situasi kandang berlapis besi. Menurut Erwin, itu baik karena menunjukan sikap liar.

Sejumlah orang mengabadikan pelepasliaran macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Resort Bintangot, Desa Seda, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia
Sejumlah orang mengabadikan pelepasliaran macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Resort Bintangot, Desa Seda, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/ Mongabay Indonesia

 

Setidaknya, butuh waktu 30 hari untuk menyesuaikan diri secara paripurna. Sampai pintu kandang dibuka oleh para pejabat setempat yang menyudahi acara pelepasliaran hari itu.

Dengan pelacak yang melingkari leher, predator betina itu sekelebat keluar kandang dan menghilang diantara pepohonan. Sejak itu, Ciremai tercatat sudah menampung 2 individu satwa endemik Jawa yang kalah akibat berkonflik.

READ  Kandung 50 Juta Barel Minyak, BOB Incar Kawasan Konservasi Hutan

Di ruang kendali monitor, Kepala Cikananga Wildlife Center Resit Sozer tersenyum simpul. Sorot matanya tajam mengamati setiap gerak macan sepanjang 150 sentimeter dan tinggi 60 sentimeter itu. Dia bangga, melihat Rasi berlari.

“Dia, macan yang beruntung,” katanya. Resit menjamin rehabilitasi telah berjalan sesuai prosedur. Indikator alami seperti tidak nyaman dengan manusia terbukti di lapangan. “Di Cikananga, Rasi selalu diurus oleh satu keeper dan kami tidak memperbolehkan ada orang lain. Kami pastikan no zero orang kontak dengan Rasi.”

 

Mengisi Kekosongan

Sebetulnya, metode pelepasliaran ini terbilang jarang digunakan. Biasanya, macan tutul hasil konflik akan segera dilepasliarkan tanpa proses habituasi. Proses semacam ini biasa digunakan untuk primata dengan maksud agar satwa tak kembali berkonflik. Disamping itu, habituasi penting dalam proses penyesuaian dengan lingkungan baru.

Tetapi, habituasi pada Rasi bertujuan memancing kehadiran macan kumbang jantan bernama Slamet Ramadhan yang dilepasliarkan sejak Juli 2019 lalu. Petugas ingin membuka pelacak yang masih menempel di leher Slamet yang kini kian bertambah bobotnya itu.

Kepala Balai TNGC Teguh Setiawan mengaku punya pekerjaan rumah itu. Agaknya, tak ada cara selain melakukan penangkapan kembali.

Pasalnya, hormon feromon (aroma yang dikeluarkan saat berahi) belum cukup kuat menarik Slamet untuk datang hingga batas akhir habituasi. Alhasil, “penjodohan” pun tidak membuahkan hasil.

Rasi, seekor macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Resort Bintangot, Desa Seda, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Foto : TNGC
Rasi, seekor macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Resort Bintangot, Desa Seda, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Foto : TNGC

 

Kendati begitu, Teguh menyimpan keinginan mengembalikan macan tutul yang sudah tak ditemukan lagi di kawasan 14.841 hektar itu. Padahal, kamera pengintai pernah merekam keberadaan satwa langka yang dilindungi itu pada akhir 2013.

“Namun, setelah ada pembaruan data. Kesimpulannya tak ditemukan lagi,” kata Teguh. Sehingga populasi di Ciremai hanya diisi oleh Slamet Ramadhan. “Maka harapan kami, dengan masuknya Rasi, bisa berjodoh dan menambah jumlah macan tutul di Ciremai.”

Di sisi lain, Sekjen Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI) Tony Sumampau berpendapat, penjodohan macan tutul dengan latar belakang rehabilitasi idealnya dilakukan di penangkaran. Pertimbangannya adalah kucing besar ini memang pemilih dalam hal pasangan. Tetapi, ada yang utama yakni tabungan genetik yang makin beragam.

READ  Nasib Indonesia: titik panas ancaman populasi satwa, tapi kekurangan data untuk mengukurnya

“Saya tidak mengomentari apakah bisa atau tidaknya kawin di alam. Tetapi, saya harap minimal ada rujukan yang jelas agar terukur,” ujar Tony dihubungi terpisah oleh Mongabay-Indonesia.

Tony merupakan salah satu yang mempelopori Konferensi Nasional Macan Tutul pada Januari 2014. Hasil pertemuan itu menelurkan Rencana Aksi Macan Tutul yang kemudian disahkan pemeritah kala itu. Setidaknya, ada empat bagian besar dalam sasaran rencana aksi, yaitu perlindungan di habitat alami, penanganan lembaga konservasi, penelitian akademisi, hingga peran dan keterlibatan masyarakat.

 

Hal Mendesak

Menyoal kekosongan habitat di Ciremai, Erwin menilai karena satwa liar ini belum pernah diteliti secara tuntas. Perhatian baru muncul hanya ketika satwa ini sudah bersinggungan dengan manusia. Padahal, dibeberapa kasus perdagangan satwa yang terungkap oleh aparat kerap ditemukan kulit maupun awetan tubuh macan tutul.

Sebenarnya, latar belakang konflik masih didominasi dalam kategori ringan, semisal, macan tutul hanya karena terlihat oleh warga. Lalu mereka ditangkap dan diminta dipindahkan. Padahal, tindakan yang diperlukan hanyalah mengusir.

“Dalam penanganan pun kita masih gelagapan,” imbuhnya. Dia menegaskan, tak ada kasus macan tutul menyerang manusia. Sebagaimana kucing liar, mereka lebih menghindari kontak langsung dengan manusia. Soal mangsa pun, macan tutul lebih suka mangsa yang ukurannya lebih kecil dari ukurannya.

Inilah Slamet Ramadhan, macan tutul jawa [Panthera pardus melas] dilepasliarkan di Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Foto: KLHK
Inilah Slamet Ramadhan, macan tutul jawa [Panthera pardus melas] dilepasliarkan di Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Foto: KLHK

Data Sintas mencatat terjadi 87 konflik macan tutul selama periode 2008-2020. Setidaknya, 29 individu terpaksa harus dievakuasi. Sintas juga mencatat 18 macan tutul yang mati karena konflik.

Ironisnya, pasca kalah dengan manusia, macan tutul acapkali bernasib muram. Banyak yang tak kembali ke habitat asalnya. Malahan nasib mereka berakhir di lembaga konservasi.

Di Jabar, kasus semacam ini paling tinggi. Merujuk data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar, antara tahun 2010-2011 bahwa hutan di Jabar tidak lebih dari 816.603 hektare atau 18 persen dari 4,4 juta hektare total luas wilayah Jabar. Kondisi ini krusial memicu konflik berkepanjangan.

Berdasarkan penyusunan meta populasi macan tutul sejak 2018, Erwin mengungkapkan, ada 22 kantong populasi yang teridentifikasi Se-Jawa. Diperkirakan batas minimal, rata-rata hingga teratas diprediksi berjumlah 180, 318 dan 500-an individu.

READ  BKSDA Evakuasi Orangutan Diselamatkan Warga

Berdasarkan pengamatan itu, International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2021, menurunkan status konservasi Panthera pardus melas menjadi endangered, dari sebelumnya yang critically endangered.

“Meski berubah status, bukan berarti populasi membaik tetapi karena data menjadi lebih baik dan komperhensif,” jelas Erwin. Pendataan yang baik diharapkan menjadi awal baik untuk menyiapkan langkah penyelamatan pemuncak rantai makan ini.

Pengamatan kolaborasi itu pun menemukan bahwa sebagian besar macan tutul Jawa tercatat di luar kawasan lindung dan hutan primer. Perbandingannya 60% persen di luar dan 40% di dalam kawasan konservasi.

Erwin berkeyakinan masih banyak bentang alam yang masih ideal menjadi kantung populasi macan tutul. Namun, secara lansekap sudah terfragmentasi. Dan itu merupakan masalah yang paling serius, katanya.

Macan tutul (Panthera pardus), salah satu satwa dilindungi yang hidup di kawasan Gunung Ciremai. Satwa ini terancam karena terjadinya kebakaran di Taman Nasional Gunung Ciremai. Foto : Conservation International Indonesia
Macan tutul (Panthera pardus), salah satu satwa dilindungi yang hidup di kawasan Gunung Ciremai. Satwa ini terancam karena terjadinya kebakaran di Taman Nasional Gunung Ciremai. Foto : Conservation International Indonesia

 

Pusat Penelitian

Habitat kosong di Ciremai membuka mata semua pihak akan pentingnya penyelamatan macan tutul jawa. Direktur Bina Pengelolaan dan Pemulihan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ammy Nurwati, berencana menjadikan lokasi pelepasliaran Rasi dan Slamet itu sebagai pusat riset macan tutul.

Nantinya, macan tutul yang berkonflik dipastikan akan dilepasliarkan di TN Ciremai. Dengan harapan, adanya keragaman genetis. Ditambah adanya informasi lebih spesifik mengani cara hidup macan tutul.

“Ide ini muncul dari pihak TNGC, kami selaku perwakilan dari pemerintah pusat berupaya mendukung dan mendorong agar bisa jalan. Apalagi ini masih selaras dengan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Macan Tutul Jawa Tahun 2016- 2026,” terang mantan Kepala BBKSDA Jabar itu.

Pihaknya juga berkomitmen melibatkan masyarakat dalam konservasi macan tutul. Sebagai informasi TNGC memiliki program masyarakat mitra hutan.

Sementara itu, dibalik riuh tepuk tangan serta sorak kegembiraan, ada suara yang ingin didengarkan. Dasuki (70), Warga Seda, menaruh secuil harapan pada pelepasliaran itu. Jarak rumahnya yang 2 kilometer dari Kawasan TNGC, Dasuki ingin kelestarian satwa ikon Jabar tersebut, berkesinambungan dengan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.

SUMBER: MONGABAY

Enable Notifications    Ok No thanks