Lebih dari satu gajah mati tiap hari dalam setahun di Sri Lanka, apa penyebabnya?

GETTY IMAGES
GETTY IMAGES

 

Tangis Sumitra Malkandi pecah mengenang suatu malam pada Maret tahun lalu saat suaminya diinjak-injak gajah sampai tewas.

Saat itu, dia sedang memasak di rumah yang terletak di desa pertanian di Sri Lanka bagian tengah. Sang suami, Thilak Kumara, sedang di luar memberi makan sapi-sapi peliharaan mereka. Tiba-tiba saja terdengar suara amukan gajah.

Sumitra baru saja hendak memperingatkan Thilak, tetapi “dalam hitungan menit, hal yang paling buruk terjadi sudah”. Si gajah melarikan diri saat mendengar jeritan penduduk desa.

Sumitra, yang berusia 45 tahun dan ibu dari tiga anak perempuan, mengaku keluarganya masih syok atas kejadian tersebut. Dia khawatir hal yang sama terulang kembali.

Keluarga Sumitra tinggal di lahan usaha tani yang posisinya hanya beberapa ratus meter dari hutan lebat. Rumah mereka dikelilingi pepohonan kelapa, mangga, dan pisang – yang merupakan santapan kegemaran para gajah.

Desa Thalgaswewa di Distrik Kurunegala kini berada di tengah-tengah konflik yang kian memanas antara manusia dan gajah.

Aparat lokal menyatakan tiga orang dan 10 gajah tewas Thalgaswewa dan desa-desa sekitarnya dalam dua tahun terakhir. Penduduk setempat sekarang takut untuk keluar rumah setelah matahari terbenam.

Namun, problematika ini tersebar jauh melampaui area kecil ini.

Thilak Kumara adalah satu dari total 176 orang yang meninggal dunia akibat amukan gajah di Sri Lanka pada 2023.

 

Meluasnya lahan pertanian turut menyerobot habitat gajah – mengganggu sumber makanan dan minuman mereka dan membuat orang-orang berada dalam marabahaya.

“Semua tanaman pangan yang kita budidayakan sangat menarik perhatian gajah,” terang Prithiviraj Fernando, ahli gajah terkemuka di Sri Lanka.

Hal ini membuat masa depan gajah Sri Lanka yang ikonik terlihat genting. Angka-angka terakhir memperlihatkan jumlah kematian gajah paling tinggi pada 2023.

Para aktivis lingkungan hidup mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan. Angka kematian manusia dan gajah sama-sama menunjukkan level terparah – ini adalah peringatan keras bahwa ketika manusia dan hewan menakjubkan ini berkelindan, konsekuensinya bisa fatal.

“Setelah perang sipil berakhir [tahun 2009] pemerintah mulai memberikan [lebih banyak lagi] tanah kepada masyarakat. Tadinya area-area ini terlarang semasa perang berlangsung,” ujar pakar ekologi dari Perkumpulan Pemerhati Lingkungan Sri Lanka, Chandima Fernando.

Dia menambahkan kebijakan ini membuka ruang lebih untuk lahan pertanian dan penduduk, sehingga kontak antara manusia dan gajah pun menjadi lebih besar.

Barangsiapa membunuh gajah, yang merupakan hewan dilindungi di Sri Lanka, dapat diganjar secara hukum oleh negara.

Bagi negara Asia Selatan ini, hewan gajah memiliki nilai-nilai keagamaan dan juga ekonomi. Gajah-gajah yang sudah dijinakkan seringkali menjadi bagian dari acara keagamaan dan objek wisata.

Ini tidak menghalangi upaya para petani setempat untuk melindungi diri mereka sendiri dan lahan pertanian mereka dengan metode mematikan.

Sri Lanka memang memberikan izin untuk membangun pagar listrik untuk menghalau binatang. Daya yang diperbolehkan cukup untuk mengejutkan hewan-hewan tanpa menimbulkan luka serius. Secara resmi, Sri Lanka memiliki pagar listrik sepanjang 5.000km termasuk yang mengitari Thalgaswea.

Jaringan pagar ini rencananya akan diperluas.

Pakar-pakar seperti Chandima Fernando menyarankan metode yang lebih sederhana dan aman untuk gajah seperti “membudidayakan jeruk-jerukan atau tanaman lain yang tidak menarik untuk gajah”.

Diperkirakan ada sekitar 5.800 gajah di daerah-daerah dilindungi di Sri Lanka – lahan basah atau rawa, padang rumput, dataran tinggi, dan sabana/semak belukar – meski sebagian ahli khawatir jumlah aslinya jauh di bawah itu.

Gajah biasanya mengembara sepanjang 48km per hari. Mereka tidak akan jauh-jauh dari sumber air segar dan gajah tidak akan berjalan jauh kecuali kehabisan makanan.

Namun, sekalinya kehabisan makanan – misalnya apabila daerah-daerah terlindung dilanda kekeringan – gajah-gajah akan pergi ke lahan-lahan pertanian terdekat.

BBC/ANBARASAN ETHIRAJAN
BBC/ANBARASAN ETHIRAJAN

 

Pemerintah Sri Lanka sebenarnya sudah memperingatkan penduduk tentang bahaya mendesak gajah yang sudah keluar dari area dilindungi untuk kembali ke sana. Hal ini dikarenakan hutan yang sudah menyusut tidak bisa menyokong hidup terlalu banyak gajah.

Prithviraj Fernando memimpin lembaga resmi pada 2020 untuk merancang Rencana Aksi Nasional untuk mengurangi efek dari konflik manusia-gajah. Rencana aksi seolah hilang tanpa gelagat dalam beberapa tahun terakhir karena Sri Lanka mendadak mengalami krisis ekonomi.

Meningkatnya kematian gajah secara tajam seolah menghidupkan kembali rasa was-was.

Menurut WWF, populasi gajah Sri Lanka turun sebanyak 65% sejak abad ke-19.

Satu dekade silam, Sri Lanka kehilangan 250 gajah per tahun. Namun, angka ini meningkat drastis dalam beberapa tahun belakangan dan kematian gajah kini melampaui 400 dalam dua tahun berturut.

Hal lain yang membuat para pakar kian khawatir adalah tingginya angka gajah jantan yang mati – sehingga kemungkinan spesies ini untuk bertahan hidup pun menurun. Gajah jantan cenderung pergi ke area penduduk sendirian – ini membuat mereka lebih rentan ketimbang gajah betina yang berkelompok.

Chandima Fernando mengatakan tidak ada satu pun gajah jantan terlihat di sebagian wilayah Sri Lanka tengah dalam tahun-tahun terakhir. Sebelum pandemi, gajah jantan sering terlihat.

Para peneliti menambahkan walaupun kematian gajah di luar kawasan hutan lindung sudah terdata, mereka tidak tahu tentang apa yang terjadi di dalam hutan-hutan – di mana penyakit, pertikaian antar gajah, dan kekeringan bisa mengakibatkan kematian.

Kembali ke Thalgaswewa, Sumitra Malkandi mengaku takut dirinya akan kembali berhadapan dengan gajah.

“Semakin banyak gajah yang datang ke lahan tani,” tutur dia.

“Kami takut tinggal di sini.”

SUMBER: BBC

Enable Notifications    Ok No thanks