Masyarakat Adat Moa Masih Terbelenggu Hutan Negara

  •  Masyarakat Adat Moa, sudah mendapatkan penetapan hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hanya saja, usulan dan penetapan jauh beda. Usulan penetapan hutan adat 7.738 hektar, realisasi hanya 1.484 hektar.
  •   Sejak 2017, pemerintah desa, lembaga adat yang dibantu Karsa Institute dan Kemitraan-Partnership mengusulkan penetapan hutan adat kepada KLHK untuk Masyarakat Adat Moa. Wilayah adat itu ada di Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan seluas 7.738 hektar, masuk dalam kawasan konservasi Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dan hutan lindung.
  •   Komunitas Adat Topo Uma diarahkan untuk hidup menetap dan dipindahkan ke perkampungan baru di wilayah yang disebut moa. Nama moa berasal dari kata moahu secara harfiah berarti berburu. Sebutan moa diambil dari kebiasaan komunitas adat di Boku yang suka berburu saat itu. Boku saat ini tidak lagi dihuni sebagai permukiman penduduk dan dikenal sebagai kampung tua orang Moa. Komunitas Adat Topo Uma ini biasa disebut Masyarakat Adat Moa.
  •  Pada level Pemerintah Sigi, Masyarakat Adat Moa sudah dapatkan pengakuan berdasarkan PeraturanPerda Sigi pada 2014 soal pemberdayaan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Ada juga keputusan Bupati Sigi pada 2015 mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat To Kaili dan To Kulawi di Sigi.

 

 

Daud Rori, agak kecewa saat menerima Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang penetapan hutan adat bagi Masyarakat Adat Moa di Desa Moa, Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng). SK pada 10 September 2021 itu hanya menetapkan 1.484 hektar hutan adat dari 7.738 hektar usulan.

Daud bilang, luasan itu kecil bagi Masyarakat Moa, dan akan mengancam masa depan keberlangsungan mereka.

“Penduduk kami makin hari makin bertambah. Ini akan mengancam ruang hidup masa depan anak-anak dan cucu-cucu. Hutan adalah sumber kehidupan,” kata Daud Rori, Wakil Ketua Lembaga Adat Moa kepada Mongabay, awal Juli lalu.

Sejak 2017, pemerintah desa, lembaga adat yang dibantu Karsa Institute dan Kemitraan-Partnership mengusulkan penetapan hutan adat kepada KLHK untuk Masyarakat Adat Moa. Wilayah adat itu ada di Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan seluas 7.738 hektar, masuk dalam kawasan konservasi Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dan hutan lindung.

Sebenarnya, pengusulan hutan adat itu diambil untuk meminimalisir ketimpangan dan konflik agraria karena begitu besar dominasi negara terhadap penguasaan dan kontrol atas sumber daya alam di dalam kawasan hutan. Tata guna dan sistem penguasaan tanah oleh komunitas adat, katanya, berubah drastis karena kebijakan negara jadikan tempat hidup mereka kawasan hutan termasuk konservasi.

Daud bilang, masyarakat tidak dapat lagi dengan leluasa mengakses wilayah-wilayah adat bahkan di lahan permukiman, pertanian, dan perkebunan.

Pada level Pemerintah Sigi, Masyarakat Adat Moa sudah dapatkan pengakuan berdasarkan PeraturanPerda Sigi pada 2014 soal pemberdayaan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Ada juga keputusan Bupati Sigi pada 2015 mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat To Kaili dan To Kulawi di Sigi.

Sayangnya, dari proses pengusulan hingga penetapan hutan adat perlu waktu sekitar empat tahun, itu pun luasan sangat jauh dari usulan.

READ  Global Tiger Day: Jalan Panjang Menyelamatkan Harimau Sumatera

“Kami mengusulkan sejak 2017, nanti akhir 2021 baru ada penetapan hukum adat. Ada empat tahun kami memperjuangannya. Selama itu, negara seperti mempersulit, dan luasan diberikan cukup kecil,” kata Daud.

Masyarakat Adat Moa merupakan Komunitas Adat Topo Uma, salah satu Suku Kulawi yang berbahasa uma. Berdasarkan catatan Kaudern, Walter. 1925: Ethnographical studies in Celebes: Results of the author’s expedition to Celebes 1917–1920, Komunitas Adat Topo Uma sebelumnya tinggal dan menetap di lembah di sekitar Pegunungan Boku dan Haluboko di tepian Sungai Lariang (Koro) sejak lama.

Saat itu, mereka memanfaatkan lembah dan pegunungan di sekitar sebagai ”huaka” atau ruang (kelola) hidup dengan berkebun ladang jenis padi lokal (pae konihi), mengumpulkan umbut rotan dan kacang hutan (meramu) dan berburu.

Sekitar 1920-an, pemerintahan kolonial Belanda merelokasi masyarakat yang hidup nomaden dan terpencar-pencar di sekitar Boku dan Haluboko untuk memudahkan roda pemerintahan saat itu. Itu juga bersamaan dengan masuknya misionaris Kristen Protestan-Bala Keselamatan di seluruh Pipikoro.

Komunitas Adat Topo Uma diarahkan untuk hidup menetap dan dipindahkan ke perkampungan baru di wilayah yang disebut moa. Nama moa berasal dari kata moahu secara harfiah berarti berburu.

Eliyanus, Pemua Adat Moa dan Prasetyo Hetta, Ketua BPD Desa Moa Kecamatan Kulawi Selatan Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah

 

Sebutan moa diambil dari kebiasaan komunitas adat di Boku yang suka berburu saat itu. Boku saat ini tidak lagi dihuni sebagai permukiman penduduk dan dikenal sebagai kampung tua orang Moa. Komunitas Adat Topo Uma ini biasa disebut Masyarakat Adat Moa.

Pada masa kolonial Belanda, Masyarakat Adat Moa juga masih hidup dengan sistem pemerintahan tradisional yang dipimpin seorang maradika. Setelah kemerdekaan Indonesia, sistem pemerintahan tradisional Komunitas Adat Topo Uma berganti menjadi pemerintahan kampung yang dipimpin kepala kampung disebut totua ngata.

Zaman orde baru, pemerintahan kampung berganti menjadi pemerintahan desa, dan Kampung Moa berganti menjadi Desa Moa yang dipimpin kepala desa hingga kini.

Orang Moa merupakan masyarakat agraris, tanah dan lahan sangat penting untuk bercocok tanam dan mengembangkan pertanian sebagai sumber perekonomian dan pemenuhan kebutuhan hidup. Ada sekitar 97% warga adat Moa sebagai petani yang mengolah kakao, jagung, dan kopi. Sistem penanaman dan perawatan tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Selain itu, mereka budidaya padi ladang, sawah, kemiri dan tanaman palawija.

Ada juga beberapa kebutuhan hidup dari hutan seperti kayu (kau), rotan (ui ), bambu (walo), pandan hutan (naho), tumbuhan obat-obatan (pakuli), wangi-wangian (wongi-wongi), enau (baru), nibung (wanga), umbut (uwu) dan lain-lain. Secara filosofi Masyarakat Topo Uma dikenal dengan penyebutan hintuwu (yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia), Juga, katuwuan (mengatur hubungan antara manusia dengan alam) dan petukua (mengatur hubungan dengan sang pencipta).

Sejarah itulah yang membuat Masyarakat Moa memiliki pemaknaan mendalam terkait interaksi dengan hutan. Hutan tidak hanya dimaknai sebagai sumber pemenuhan kebutuhan jasmani, juga inspirasi budaya yang melahirkan ikatan-ikatan spiritual dan religi. Pemaknaan ini, katanya,  melahirkan sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang kemudian menjadi budaya dan tradisi yang membentuk jati diri komunitas adat dan orang moa sebagai petani.

Mereka mengelola hutan sebagai lahan pertanian dan kebun dengan berbagai jenis tanaman pangan dan juga tanaman komoditi untuk kebutuhan ekonomi. Lahan-lahan pertanian dan kebun yang dikelola merupakan wilayah-wilayah adat sebagai warisan turun temurun dari nenek moyang Topo Uma.

READ  2 Tahun Pandemik COVID-19 dan Luas Hutan yang Kian Terkikis

Komunitas Topo Uma di Desa Moa memiliki wilayah adat seluas kurang lebih 34.485 hektar dengan batas-batas wilayah yang terhubung dengan lintas desa, kecamatan, kabupaten, bahkan hingga provinsi.

Sejak 1993, wilayah-wilayah adat Topo Uma ini ditetapkan sebagai bagian dari kawasan hutan negara dengan fungsi konservasi.

Penetapan status Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 593/Kpts-II/1993 dan hutan lindung masuk dalam Kesatuan Pengelola Hutan Lindung (KPHL) unit VIII juga SK Menteri Kehutanan Nomor SK.79/Menhut-II/ 2010, membuat Komunitas Topo Uma kehilangan akses.

Perempuan Adat Moa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Perempuan Adat Moa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Penguasaan hutan

TNLL terletak sekitar 60 kilometer selatan Kota Palu berada di selatan Sigi dan bagian barat Poso ini awalnya memiliki seluas 229.000 hektar ditetapkan pada 1993. Pada 1999, ada pengukuran dan tata batas definitif melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan 28 Juli 1999. Saat itu, luas TNLL resmi 217.991,18 hektar.

Selanjutnya pada 2014 disahkan perubahan Tata Ruang Sulawesi Tengah yang berimplikasi pada perubahan kawasan hutan termasuk TNLL. Perubahan diakomodir melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan pada 2014. Pada 29 September 2014, luas TNLL jadi 215.733,70 hektar.

Daud bilang, penetapan sepihak pemerintah membuat ketimpangan dan berdampak pada pola pemanfaatan lahan masyarakat adat. Ruang penghidupan mereka terhimpit karena keterbatasan akses atas hutan dan lahan kelola untuk pertanian ladang serta kebun. Makin sempit wilayah, katanya,  mempengaruhi pola produksi dan konsumsi mereka dalam pemenuhan kebutuhan pangan keluarga.

Catatan Karsa Institute, lembaga yang mendampingi masyarakat adat moa menjelaskan, sebelum ada TNLL, luas Moa 34.530 hektar pada 1900- 1981. Penggunaan lahan pada masa itu sebagai tempat berburu, berkebun ladang, mengambil kayu dan rotan untuk kebutuhan rumah tangga. Ada juga lahan yang dimanfaatkan sebagai pampa oleh perempuan adat, untuk berkebun sayur-sayuran seperti sawi, kacang-kacangan, jagung, cabe, dan bumbu dapur.

Tahun 1955-1960, sebagian hutan bekas kebun padi ladang untuk berkebun kopi. Saat itu, merupakan masa kejayaan Masyarakat Adat Moa karena menjadi salah satu desa penyuplai kopi terbesar di Sulawesi Tengah.

Pada 1990-1997,  masyarakat mulai menanam kakao secara alami yang dibudidayakan tradisional berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki masyarakat.

Untuk kebutuhan subsisten yang bersumber dari hasil bonea atau kebun padi ladang dan pampa (wilayah kelola perempuan adat) tersedia di komunitas. Pada era 1970-an, Masyarakat Moa juga penghasil beras ladang terbaik di Sulteng. Sedangkan Kampung Tua Boku dan Haluboko jadi tempat ritual religius dan ziarah makam tua leluhur Moa.

Setelah jadi TNLL, hampir 85% wilayah adat Moa masuk kawasan hutan negara. Penetapan itu pun tidak pernah diketahui atau masyarakat. Mereka kerap mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari petugas kehutanan saat mengambil rotan.

“Jika ada yang melawan masyarakat dicap sebagai perusak hutan. Tindakan seperti ini juga dirasakan hampir semua desa yang berkonflik dengan kawasan hutan, dan konservasi,” kata Desmon Mantaili, Program Manager Karsa Institute.

Selain itu, desa yang berada di ujung selatan Sigi ini sampai hari ini tidak memiliki akses jalan memadai, karena letak geografis terpencil di perbukitan yang berbatasan dengan TNLL. Jarak sekitar 24 km dari Gimpu, ibu kota Kecamatan Kulawi Selatan, dan 120 km dari pusat Kota Palu. Dari Gimpu, modal transportasi yang dapat digunakan hanya sepeda motor dengan perjalanan sekitar tiga jam menyusuri jalan setapak di tepi jurang terjal di pinggiran sungai lariang-sungai terpanjang di Sulawesi.

READ  Aksi Pemuda bagi Bibit Pohon hingga Bersih Sampah untuk Peringati Hari Lingkungan Hidup

Kondisi geografis yang sulit diakses karena status kawasan hutan dan taman nasional membuat desa dengan penduduk 245 jiwa ini minim infrastruktur dan fasilitas layanan publik, termasuk pendidikan. Di sana, hanya ada sekolah dasar. Jumlah tenaga medis dan tenaga pendidik juga belum mencukupi. Desmon bilang, semua itu karena dampak dari penguasaan hutan oleh negara.

Padahal, kata Desmon, Masyarakat Moa memiliki konsep pengelolaan hutan berdasarkan kearifan lokal yang dibagi dalam beberapa tingkatan atau kategori (zona). Ada zona pongataa, wilayah yang dicadangkan untuk permukiman. Ada polidaa, areal persawahan atau lahan untuk budidaya padi sawah, beternak itik. Lalu,  pampa kebun campur tempat budidaya tanaman pangan dan tanaman musiman seperti palawija dan tanaman hortikultura, serta pocoklat, kebun tanaman keras dengan tanaman utama berupa kakao.

“Semua zona-zona ini, ada aturan, larangan, hingga sanksi yang dibuat oleh masyarakat adat moa, jika ada yang melanggarnya. Sebenarnya, Masyarakat Moa ini lebih ketat menjaga hutan ketimbang dengan petugas kehutanan atau polisi hutan,” kata Desmon.

 

Sayangnya, masyarakat adat moa tidak dilibatkan dalam mengelola hutan. Banyak masyarakat luar desa diam-diam mengambil hasil hutan seperti kayu, rotan, gaharu dan damar di wilayah Moa.

Arma Janti Massang, Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) menepis anggapan itu. Katanya, balai sangat paham dengan kearifan lokal yang dimiliki Masyarakat Adat Moa dalam kelola hutan.

Adapun luasan yang ditetapkan berbeda dengan luasan yang diusulkan merupakan bagian dari petimbangan KLHK, karena taman nasional dikelola berdasarkan sistem zonasi. Dia berdalil, sistem zonasi itu yang disesuaikan dengan zona-zona kearifan lokal pengelolaan hutan Masyarakat Moa.

Meski begitu, dia agk kecewa dengan SK penetapan hutan adat untuk Masyarakat Adat Moa oleh Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK. Dalam SK itu tidak ada tembusan ke Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) dan ke BBTNLL. Padahal, BBTNLL menjadi bagian dalam tim terpadu dalam validasi dan verifikasi administrasi untuk wilayah yang diusulkan menjadi hutan adat, serta kawasan mereka yang dilepas.

Sisi lain, katanya, BBTNLL wajib pembinaan, pemberdayaan, dan peningkatan kapasitas lembaga adat dan serta Komunitas Adat Topo Uma di Moa dengan membangun kolaborasi berbagai pihak.

Padahal, kalau sudah bicara masyarakat hutan adat sudah bukan kewajiban BBTNLL untuk melakukan pemberdayaan. Walaupun begitu, mereka tetap akan mengamankan kebijakan pimpinan.

“Lebih baik masyarakat kerjakan dulu apa yang ada, misal, melakukan tata batas, walaupun luasan yang diberikan tidak sesuai dengan yang diusulkan,” kata Arma Janti Massang kepada Mongabay, awal Juli lalu.

Perempuan Adat Moa menjemur biji kakao di depan rumahnya. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Perempuan Adat Moa menjemur biji kakao di depan rumahnya. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

*******

 

SUMBER: MONGABAY

 

Enable Notifications    Ok No thanks