Tangkal Konflik Gajah dan Manusia, BKSDA Aceh Pasang GPS Collar pada Gajah Liar

 

  • Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo menyebutkan, populasi gajah sumatera di Aceh saat ini sekitar 539 individu.
  • Konflik gajah liar dan masyarakat di Aceh terus terjadi. Konflik paling banyak terjadi pada tahun 2017 yaitu 103 kasus.
  • Konflik gajah terjadi karena adanya kerusakan habitat, yang diakibatkan oleh kegiatan manusia seperti pembukaan lahan, perambahan hingga illegal logging.
  • Untuk meminimalkan konflik yang terjadi, BKSDA memperkenalkan model. pemasangan Global Positioning System(GPS) collar, khususnya pada kelompok gajah liar betina dan sekaligus mengetahui jalur jelajah kelompok gajah.

 

Berkurangnya habitat gajah di Aceh terus terjadi. Sumber utamanya adalah pembukaan lahan untuk perkebunan, dan pertambangan hingga beragam kegiatan ilegal seperti perambahan, pertambangan sampai illegal logging. Yang terjadi saat ini, konflik diantara manusia dan gajah di provinsi ini masih terus terjadi.

Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, mencatat di tahun 2016 jumlah konflik antara gajah dengan masyarakat di Aceh mencapai 46 kasus. Konflik umumnya terjadi karena gajah masuk ke perkebunan kelapa sawit milik masyarakat, perusahaan pemegang HGU dan lahan pertanian masyarakat lainnya.

Konflik gajah dan masyarakat di Aceh tercatat terjadi di Kabupaten Bener Meriah, Pidie, Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tenggara dan beberapa kabupaten lainnya.

Pada tahun 2017, konflik gajah dan manusia meningkat tajam, BKSDA Aceh mencatat terjadi 103 kasus, dan berlanjut di tahun 2018 dimana terdapat 71 kali konflik gajah.

Dalam dua bulan di tahun 2019, konflik gajah dengan manusia masih belum selesai. Di tahun ini Beberapa kali konflik gajah dengan manusia tercatat terjadi di Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Pidie, Aceh Timur dan beberapa daerah lain.

READ  Kondisi Hutan Rawa Tripa Memprihatinkan

Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo menyebutkan, populasi gajah sumatera di Aceh saat ini sekitar 539 individu yang tersebar disejumlah kabupaten/kota. Namun karena habitatnya terus berkurang dan jalur lintasannya terganggu telah meningkatkan konflik dengan manusia.

Jelasnya, gajah sumatera di Aceh terdiri dari banyak kelompok atau kantong-kantong yang jumlahnya beragam. Gajah umumnya berkelompok di hutan dataran rendah yang tidak terjal, seperti di Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tenggara, Bireuen, Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, Bener Meriah dan beberapa daerah lain di Aceh.

“Yang harus diingat, sebagian besar konflik antara gajah dengan masyarakat itu terjadi diluar kawasan konservasi atau di hutan lindung, hutan produksi dan hutan areal penggunaan lain. Sebagian besar habitat gajah juga berada di daerah ini,” ungkap Sapto.

Sapto menambahkan, BKSDA Aceh bersama Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup; serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Aceh saat ini terus berupaya menyusun master plan untuk mengatasi konflik satwa liar dengan masyarakat khususnya dengan gajah sumatera.

“Kalau kebun dibuka di daerah lintasan gajah, maka konflik tidak terhindari. Terlebih di kebun itu ditanami tanaman yang disukai gajah, seperti sawit, tebu, pinang, jagung dan lainnya.”

 

Tim pemasangan GPS collar bersiap dengan peralatan obat bius. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

GPS untuk Gajah Liar

Untuk meminimalkan konflik yang terjadi, BKSDA memperkenalkan model pemasanganGlobal Positioning System(GPS) collar pada gajah liar. Menurut Sapto, GPS collar akan memberikan informasi posisi gajah secara berkala melalui satelit. Ini tentunya sangat membantu dalam mitigasi konflik gajah dengan manusia sebagai early warning system.

“Selain itu dalam jangka panjang akan bermanfaat untuk mengetahui jalur jelajah kelompok gajah tersebut, sehingga datanya dapat digunakan dalam penataan ruang di Provinsi Aceh.”

READ  Begini Rekomendasi untuk Pelestarian Ekosistem Mangrove Dunia

Sapto menambahkan pemasangan GPS collar telah dilakukan pada gajah liar di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, Bener Meriah, Pidie, dan Kabupaten Aceh Jaya.

“Saat ini kita bersama Forum Konservasi Leuser (FKL) sedang memasang collarpada gajah liar di Kabupaten Aceh Timur, rencananya didaerah ini akan dipasang GPS pada dua kelompok gajah sumatera,” jelasnya.

Dedi Yansyah, Koordinator Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser (FKL) menyebut, pemasangan GPS collar di Kabupaten Aceh Timur akan dilakukan pada gajah liar betina, hal tersebut karena gajah betina hidup berkelompok. Sementera gajah jantan hidup soliter atau sendiri dan berpindah-pindah tergantung keberadaan kelompok gajah betina.

“Kita sengaja memilih gajah betina dewasa karena dia hidup berkelompok dan yang ingin dipastikan posisi kelompok ini sehingga bisa memberikan informasi kepada masyarakat ketika kelompok ini mulai mendekati kebun masyarakat,” tambah Dedi.

 

 

 

 

Petugas dari BKSDA Aceh dan Forum Konservasi Leuser (FKL) memasang GPS collar pada gajah sumatera liar di hutan Ekosistem Leuser, Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur. Pemasangan GPS tersebut dilakukan pada salah satu gajah yang berkelompok untuk mengetahui jalur lintasan sehingga bisa membantu informasi untuk mitigasi konflik dengan masyarakat dan mencegah perburuan. Seri foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Perjuangan untuk Memasang Collar

Mongabay Indonesia mendapat kesempatan mengikuti pemasangan GPS Collar pada gajah liar di Desa Seumanah Jaya, Kecamatan Ranto Peurelak, Kabupaten Aceh Timur (07/03/2019). Meski dibantu oleh dua gajah sumatera jantan jinak milik BKSDA Aceh, ternyata pemasangan GPS tetap tidak mudah.

Tim harus berjalan seharian untuk mencari kelompok gajah yang berada didalam HGU milik PT Atakana, yang sudah banyak ditumbuhi semak belukar mempersulit pencarian kelompok gajah ini.

READ  Bencana Tak Kenal Musim Wujud Nyata Dampak Perubahan Iklim

Setelah tim menemukan kelompok gajah betina, tim dihadang oleh beberapa gajah jantan muda. Pencarian pun dilakukan dengan hati-hati karena khawatir gajah jantan ini akan menyerang tim yang jumlahnya belasan orang.

Setelah diketahui keberadaan kelompok gajah, tim penembak obat bius berjalan ke depan. Setelah bius beberapa kali ditembakkan, tim kembali harus mengikuti gajah jinak yang berlari beberapa kilometer. Pencarian dilakukan dengan mengikti jejak gajah itu.

Tim juga harus memastikan jumlah bius yang ditembakkan tidak sampai membuat gajah terduduk atau rebah karena hal itu akan menyulitkan pemasangan GPS di leher gajah.

“Kali ini kita beruntung dalam satu hari bisa menyelesaikan pemasangan satu GPS, biasa butuh waktu berhari-hari karena kawanan gajah terus berlari,” sebut Sapto.

 

 

 

 

SUMBER : MONGABAY.CO.ID

 

 

Enable Notifications    Ok No thanks